TIMES JABAR, JAKARTA – Bicara mengenai pemakzulan sedang ramai di Indonesia karena adanya kelompok yang disebut Petisi 100 yang mendesak untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden RI Jokowi atau Jokowi.
Diketahui, terdapat Petisi 100 yang mengunjungi Menteril Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia Mahfud MD, untuk menuntut agar proses pemakzulan Presiden segera dilaksanakan. Mereka menyatakan bahwa alasannya adalah adanya sejumlah dugaan pelanggaran pemilu yang diarahkan kepada Jokowi.
Selanjutnya, apa tujuan dari pemakzulan presiden dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya di Indonesia? mari kita bahas.
Apa yang dimaksud dengan pemakzulan presiden?
Dari hasil riset TIMES Indonesia, Pemakzulan berasal dari bahasa Arab yang artinya mencabut seseorang dari jabatannya. Kalau menurut laman Mahkamah Konstitusi RI, istilah pemakzulan setara dengan 'impeachment' dalam konstitusi negara-negara Barat.
Sedangkan menurut definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makzul berarti berhenti memegang jabatan atau turun takhta.
Sementara memakzulkan adalah tindakan menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya sendiri sebagai raja; berhenti sebagai raja.
Selanjutnya, pemakzulan merujuk pada langkah-langkah dan cara memberhentikan presiden dan wakil presiden dari jabatannya jika terbukti melanggar hukum. Proses ini dilakukan oleh MPR dengan persetujuan MK dan atas usulan dari DPR.
Jika merujuk dalam UUD 1945, tidak digunakan kata "makzul," "pemakzulan," atau "memakzulkan," melainkan istilah "diberhentikan" dan "pemberhentian," sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Pemakzulan di Indonesia
Kemudian, jika membahas tentang proses pemberhentian dalam konteks pemimpin di Indonesia, akan melibatkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Aturan mengenai pemakzulan atau pemberhentian presiden dan wakil presiden di Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945.
Proses pemberhentian dimulai dengan DPR menyampaikan pandangan bahwa presiden telah melanggar Pasal 7A UUD 1945 kepada MPR dan setelah itu, presiden akan diperiksa dan diadili oleh MK.
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Misalnya Pengkhianatan terhadap negara, Korupsi, Penyuapan, Tindak pidana berat lainnya, Melakukan perbuatan tercela serta tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden.
Sementara itu, tata cara pemberhentian di Indonesia dijelaskan dalam Pasal 7B UUD 1945. Pasal 7B UUD 1945 menyebutkan bahwa:
1. Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum;
2. Pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
3. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
5. Apabila MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.
6. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
7. Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR RI.
Jika setidaknya dua per tiga dari total anggota MPR yang hadir menyetujui pemakzulan atau pemberhentian presiden dan wakil presiden, maka presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.
Itulah penjelasan mengenai arti pemakzulan presiden dan tata cara pemakzulan di Indonesia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Diusulkan oleh Kelompok Masyarakat Sipil, Apa Itu Pemakzulan Presiden?
Pewarta | : Farid Abdullah Lubis |
Editor | : Imadudin Muhammad |