TIMES JABAR, PANGANDARAN – Untuk meyakini bahwa kesenian ronggeng gunung merupakan salah satu kesenian asli dari Kabupaten Pangandaran perlu dibuktikan fakta fisik peralatan peninggalan terdahulu.
Benda bersejarah tersebut kini keberadaannya masih menjadi milik masyarakat yang merupakan turunan pelaku seni ronggeng gunung.
Pelaku budaya asal Pangandaran Aceng Hasim mengatakan, ronggeng gunung atau biasa disebut (doger) memiliki sejarah dan perkembangan yang mengakar di Kabupaten Pangandaran.
"Eksistensinya sudah cukup lama berkembang, salah satunya dengan pembuktian yang ditemukan di Kampung Jambuhandap, Desa Bojong, RT 04/08 Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat," kata Aceng.
Aceng menambahkan, peralatan tersebut berada di rumah Bapak Ceceng yang merupakan juru pelihara.
"Peninggalan sejarah ronggeng gunung tersebut diperkirakan dibuat dan digunakan pada tahun 1789-1834 Masehi di antaranya kampret nayaga, iket, sarung (pakaian pria) selendang, apok (pakaian perempuan) dan gamelan," terang Aceng.
Aceng menjelaskan, peninggalan sejarah yang terdapat di Cagar Budaya Jambuhandap diduga dibuat pada abad 18. Hal itu mengacu pada aksesoris yang biasa digunakan penari dan juru kawih ronggeng, terdapat uang logam buatan VOC yang berangka tahun 1789 dan 1834.
"Ada kisah dibalik peninggalan sejarah tersebut, pernah digunakan manggung, pada saat masyarakat melakukan syukuran, setelah warga melakukan pembuatan saluran air untuk mengairi sawah disekitar Jambuhandap, Desa Bojong, sebagai wujud kebahagiaan mereka melakukan pagelaran ronggeng gunung pimpinan Aki Raksadipa," jelasnya.
Berkenaan dengan keberadaan ronggeng gunung di daerah Bojong juga dikaitkan dengan keberadaan tokoh masyarakat bernama Ki Gedeng Mataram.
Ki Gendeng Mataram merupakan penduduk asal Kerajaan Mataram, Eyang Sabdajaya dan Eyang Sutapati. Ketiga tokoh tersebut, sering menggunakan jasa seni ronggeng gunung pada syukuran masyarakat dalam hajat bumi dan sejenisnya. (*)
Pewarta | : Syamsul Ma'arif |
Editor | : Irfan Anshori |