TIMES JABAR, JAKARTA – Sejarah hari ini mencatat, setiap tanggal 30 Agustus, masyarakat Internasional memperingati hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional oleh PBB. Peringatan ini bertujuan untuk menyerukan pentingnya perlindungan semua orang dari penghilangan paksa mengingat tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 30 Agustus juga mencatat pelaksanaan referendum rakyat Timor Timur oleh PBB. Hasilnya, rakyat Timor Timur memilih berpisah dengan Indonesia dan menjadi negara berdaulat.
2011: Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional
Foto 13 aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa. Hingga saat ini, 13 orang ini belum diketahui nasibnya. (foto: kontras)
Dikutip dari laman resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), di Indonesia, praktek penghilangan paksa oleh negara sudah terjadi sejak tahun 1965 yang berlanjut ke daerah konflik (Aceh dan Papua) hingga tahun 1997-1998.
Hingga kini tidak ada kejelasan atas nasib puluhan, ratusan bahkan ribuan orang yang telah dihilangkan secara paksa periode 1965-1998. Di masa DOM di Aceh 1989 hingga 1998 misalnya, Komnas HAM mencatat hampir dua ribu orang hilang pada peristiwa tersebut.
Melalui momentum Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, KontraS mengingatkan kembali bahwa negara adalah aktor dari langgengnya praktik impunitas. Hal ini ditunjukkan dari ketiadaan langkah konkret dalam meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa (International Convention on Protection of All Peoples from Enforced Disappearances) yang telah ditandatangani lebih dari 10 tahun lalu.
Untuk itu, pada Hari Anti Penghilangan Paksa tahun 2021, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah untuk:
Segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa, sebagai bentuk komitmen untuk mencari, menemukan, mengembalikan para korban, dan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. KontraS mencatat masih ada 13 orang penghilangan paksa yang belum ditemukan, salah satunya seniman asal Solo, Wiji Thukul.
KontraS juga meminta pemerintah mengadili dan mencopot para terduga pelaku pelanggar HAM masa lalu. Pemerintah juga dituntut menguatkan sinergi antar-lembaga negara, yakni DPR, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM, untuk mempercepat proses pembahasan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Kejahatan Penghilangan Paksa.
1999: Timor-Timur Lepas dari Indonesia
Ilustrasi Timor Leste (dulu bernama Timor Timur).(Foto: Shutterstock)
30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur mengikuti referendum yang diselenggarakan oleh PBB memlalui misinya UNAMET untuk menentukan kemerdekaan. Hasilnya, rakyat Timor Timur memilih berpisah dengan Indonesia dan menjadi negara berdaulat dengan nama Timor Leste. Keptusan referendum ini dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie.
Setelah pengumuman hasil referendum, yang secara telak dimenangkan pendukung opsi kemerdekaan, kerusuhan di Timor Timur (namanya pada saat itu) pecah. Kelompok milisi bersenjata yang didukung oleh kalangan TNI melakukan perusakan dan membumihanguskan kota Dili dan tempat-tempat lain. Sejarah mencatat sekitar 1.400 orang menjadi koban tewas dan menyebabkan 300.000 orang harus mengungsi ke Atambua. Kasus ini menjadi sorotan dunia, karena ketika itu Indonesia yang menjamin keamanan selama pelaksanaan referendum. (*)
Pewarta | : Ratu Bunga Ambar Pratiwi (MG-345) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |