TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Waktu menunjukkan pukul 01.39 dini hari. Jalan KHZ Mustofa, yang siang harinya dikenal sebagai jantung perekonomian Kota Tasikmalaya, Jawa Barat mulai meredup dari riuh aktivitas.
Hanya beberapa sepeda motor dan mobil sesekali melintas di jalan utama tersebut. Udara dingin menusuk tulang, ditambah kabut tipis yang turun menambah suasana sendu di kota yang dikenal dengan julukan Kota Resik ini.
Di depan sebuah toko kerudung yang tak jauh dari Pos Polisi Taman Kota Tasikmalaya, terlihat seorang kakek berusia lanjut tengah berbenah. Dengan telaten ia menggelar lembaran kardus bekas kemasan televisi sebagai alas tidur.
Di sampingnya, beberapa karung goni berisi rongsok plastik dan kardus bekas tersusun seadanya. Tak jauh darinya, tiga orang lain dengan nasib serupa juga tengah menyiapkan tempat beristirahat untuk melewati malam.
Kakek itu bernama Jeje (66), warga Kampung Cijoho, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya.
Jeje (66) tuna wisma yang biasa tidur diemparan pedestrian saat diwawancara TIMES Indonesia, Minggu (14/9/2025) dini hari (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Baginya, trotoar pedestrian di Jalan KHZ Mustofa adalah rumah sejak empat tahun lalu, tepatnya sejak Januari 2021. Sehari-hari, Jeje bekerja sebagai pemulung, menyusuri jalan dari Pasar Cikurubuk hingga Pasar Padayungan untuk mengais rezeki dari rongsokan plastik bekas air mineral.
“Saya sudah empat tahun tidur di emperan toko ini. Dulu saya narik becak, bahkan sempat kerja di pabrik batik di Bojong Kaum. Tapi pabriknya bangkrut, lalu saya terpaksa jual becak seharga Rp470 ribu karena kalah bersaing dengan ojek online,” kenang Jeje saat ditemui, Minggu (14/9/2025).
Jeje menceritakan bahwa ia memiliki lima cucu, namun karena penghasilan yang sangat minim sekitar Rp10 ribu per hari ia jarang pulang.
Hanya sekali setahun, setelah Hari Raya Idul Fitri, ia bisa pulang ke rumah karena banyak rongsokan terkumpul dan ada tambahan sedekah dari masyarakat di bulan Ramadan.
Namun, kehidupan jalanan tak selalu mudah. Jeje mengaku pernah ditangkap saat razia Satpol PP pada masa kepemimpinan Wali Kota Budi. Baginya, musim penghujan adalah saat paling menyedihkan. Alas tidur dari kardus basah, dan ia hanya bisa bertahan dari udara dingin dengan selembar karung goni.
Tak jauh dari tempat Jeje beristirahat, ada sosok perempuan bernama Eti (47), warga Desa Pakemitan, Kecamatan Cikatomas. Sudah 11 tahun ia hidup di jalanan kawasan pusat kota Tasikmalaya, termasuk di sekitar halaman Masjid Agung dan Taman Kota.
Eti kehilangan rumah sejak lama. Ibunya meninggal, sementara rumah peninggalan dijual oleh ayahnya untuk biaya pernikahan.
Ia sempat menikah dengan pria asal Situbondo, Surabaya, dan memiliki seorang anak. Namun kini, anaknya tinggal bersama sang ayah.
“Sekarang saya jualan air mineral kemasan di sekitar Pos Polisi Taman Kota. Alhamdulillah, rezeki selalu ada, kadang juga suka dikasih uang oleh Ibu Ucu, anggota Polwan yang sering patroli,” kata Eti.
Berbeda dengan Jeje, Eti mengaku tak pernah dirazia Satpol PP. Menurutnya, hampir seluruh petugas sudah mengenalnya. Bahkan, ia menyebut Komandan Satpol PP, Pak Sandy, sebagai sosok yang baik hati.
Fenomena gelandangan dan tunawisma di pusat kota Tasikmalaya menjadi perhatian masyarakat. H. Tatan Soniawan, warga Jalan Paseh yang ditemui di salah satu kedai kopi dekat lokasi, menilai bahwa gelandangan dan pengemis bukanlah pilihan hidup, melainkan akibat keterpinggiran sosial.
“Mereka biasanya berasal dari keluarga miskin, atau tidak punya keluarga sama sekali. Kehilangan rumah, pekerjaan, dan rasa aman membuat mereka terpaksa hidup di jalan. Sayangnya, seringkali mereka justru mendapat stigma sebagai orang malas, padahal kenyataannya mereka ingin bekerja dan hidup layak,” ujarnya.
Menurut Tatan, fenomena ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Kota Tasikmalaya.
“Wali Kota semestinya hadir menyelesaikan permasalahan sosial ini. Banyaknya gelandangan dan tunawisma di sepanjang jalan utama kota adalah cermin nyata. Apakah pemerintah tidak melihat atau pura-pura tidak tahu?” ujarnya.
Tasikmalaya dikenal sebagai kota religius dengan budaya yang kental serta pusat perdagangan batik dan bordir. Namun di balik geliat ekonominya, masih banyak masyarakat yang hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Menurut H. Tantan fenomena homelessness atau ketidakberumahan bukan sekadar persoalan tidak punya tempat tinggal, tetapi juga terkait kemiskinan struktural, pengangguran, rendahnya pendidikan, hingga minimnya akses jaminan sosial.
Menurutnya, di Indonesia tetcatat banyak ribuan orang hidup sebagai gelandangan dan pengemis, terutama di kota-kota besar maupun kawasan penyangga.
"Pemerintah daerah memiliki kewajiban melakukan penanganan melalui program rehabilitasi sosial, penyediaan rumah singgah, hingga pemberdayaan ekonomi."ungkap H. Tantan
Namun, seperti yang tampak di sudut malam Jalan KHZ Mustofa Tasikmalaya menurutnya menjadi realita di lapangan yang sering kali berbeda dengan rencana kebijakan, dimana para tunawisma masih harus bertahan dengan alas kardus, menahan dingin, dan mengandalkan rezeki dari hasil rongsokan atau belas kasih masyarakat.
Kisah Jeje dan Eti hanyalah dua dari sekian banyak potret buram Kota Tasikmalaya. Mereka hidup di tengah ironi, di kota yang sedang tumbuh dengan pembangunan infrastruktur, pusat perbelanjaan, dan geliat usaha kreatif.
Namun, di balik gemerlap lampu jalan dan aktivitas perdagangan, ada kehidupan lain yang terpinggirkan. Mereka menunggu hadirnya solusi nyata dari pemerintah: tempat tinggal yang layak, lapangan kerja, dan program sosial yang berkesinambungan.
Hingga saat itu tiba, malam demi malam masih akan dilewati dengan beralaskan kardus, beratapkan langit, dan ditemani udara dingin yang menggigit. (*)
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |