TIMES JABAR, BANDUNG – Rangkaian bencana alam yang kembali melanda sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi pengingat bahwa risiko kebencanaan merupakan realitas yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya menyentuh aspek kemanusiaan, tetapi juga merusak lingkungan binaan serta mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Kondisi ini menegaskan pentingnya pendekatan pembangunan yang berorientasi pada ketangguhan bencana.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat, Georgius Budi Yulianto, menekankan bahwa kebencanaan tidak seharusnya dipahami sebagai peristiwa tak terelakkan semata, melainkan sebagai risiko yang dapat dikelola melalui perencanaan yang tepat. “Hidup berdampingan dengan bencana pada dasarnya adalah persoalan kesiapan. Dengan perencanaan dan desain lingkungan binaan yang tepat, risiko dapat dikurangi secara signifikan,” ujarnya, Sabtu (27/12/2025).
Menjelang akhir tahun, potensi bencana hidrometeorologi cenderung meningkat seiring peralihan musim menuju puncak musim hujan. Fenomena ini semakin kompleks dengan adanya anomali iklim global yang memengaruhi pola cuaca ekstrem.
Dalam situasi tersebut, Georgius menilai bahwa mitigasi harus ditempatkan sebagai fondasi utama pembangunan. Perencanaan berbasis risiko, penerapan standar bangunan aman, serta peningkatan literasi masyarakat menjadi langkah strategis yang perlu dilakukan secara konsisten.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan spektrum ancaman bencana yang luas—mulai dari tektonik, vulkanik, hingga hidrometeorologi—dituntut untuk tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan dan keselamatan.
Menurut Georgius, arsitektur memiliki peran strategis dalam menjembatani tujuan tersebut. “Kualitas lingkungan binaan sangat menentukan tingkat keselamatan masyarakat. Bangunan dan kawasan yang dirancang secara adaptif akan lebih mampu melindungi manusia saat bencana terjadi,” katanya.
Penanganan kebencanaan, lanjutnya, perlu dipahami sebagai sebuah siklus yang utuh, mencakup mitigasi pra-bencana, respons darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pada setiap tahap tersebut, arsitektur dan perencanaan ruang berperan penting dalam meminimalkan korban sekaligus mempercepat pemulihan.
Prinsip build back better menjadi krusial agar proses rekonstruksi tidak sekadar mengembalikan kondisi sebelumnya, tetapi juga meningkatkan ketangguhan di masa depan.
Sebagai wujud tanggung jawab profesi, IAI mendorong peran aktif arsitek dalam kebencanaan melalui edukasi publik, penyusunan panduan bangunan sederhana yang tanggap bencana, serta pengembangan solusi desain yang aplikatif. Salah satu fokus yang dikembangkan adalah riset bangunan modular volumetrik multifungsi yang dapat digunakan sebagai rumah sakit lapangan, sekolah sementara, maupun fasilitas publik darurat.
Komitmen tersebut diwujudkan melalui pembentukan Tim IAI HADIR sejak tahun 2022. Tim ini disiapkan untuk terlibat langsung dalam seluruh tahapan kebencanaan, mulai dari edukasi dan mitigasi, pendampingan pada masa tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. “IAI ingin memastikan bahwa kehadiran arsitek bukan hanya pada tahap pembangunan, tetapi juga saat masyarakat membutuhkan pendampingan dalam situasi krisis,” ungkap Georgius.
Selain itu, Badan Pengabdian Profesi (BPP) IAI menitikberatkan kontribusi pada penguatan kapasitas intelektual melalui riset dan pengembangan bangunan tanggap bencana yang fleksibel, terstandar, dan berkelanjutan.
Upaya ini diharapkan dapat mendukung kesiapsiagaan nasional sekaligus menghadirkan solusi arsitektur yang berorientasi pada kemanusiaan.
Melalui pendekatan tersebut, IAI mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menempatkan ketangguhan sebagai bagian integral dari pembangunan. Kesadaran kolektif ini dinilai penting agar Indonesia mampu hidup berdampingan dengan bencana secara lebih aman, bijaksana, dan berkelanjutan demi keselamatan generasi kini dan mendatang.(*)
| Pewarta | : Djarot Mediandoko |
| Editor | : Faizal R Arief |