TIMES JABAR, JAKARTA – Senin, 19 Februari 2024, Mayjen TNI Farid Makruf memulai perjalanan pentingnya dari Bandara Juanda di Surabaya menuju Palu, Sulawesi Tengah. Tujuannya adalah ke kota di mana ia pernah bertugas sebagai Danrem 132 Tadulako di bawah naungan Kodam XIII/Merdeka.
Di Palu, namanya mulai dikenal oleh publik, bukan hanya karena perannya sebagai perwira TNI yang tinggi, tetapi juga karena keterlibatannya dalam mengejar sisa-sisa anggota Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) di Poso. Ia memimpin langsung timnya untuk melacak Ali Kalora cs.
"Saya akan pergi ke Palu hari ini. Saya akan melakukan penelitian tentang Tadulako di sana," ucapnya sembari berjalan menuju pesawat Lion Air yang siap lepas landas.
Setelah perjalanan sekitar 2,5 jam, ia tiba di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie di Palu, tempat ia disambut hangat oleh Danrem 132 Tadulako dan beberapa kerabat terdekat.
Setelah makan siang, ayah dari tiga anak ini kembali memulai perjalanan. Kali ini, ia memilih perjalanan darat, memakan waktu sekitar 12 jam, dari Palu ke Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Meski menjalani perjalanan panjang dengan jalan berkelok dan rusak, ia tetap kukuh. Di benaknya, mencapai Situs Warisan Budaya Megalitikum di Desa Lengkeka, Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, adalah prioritas.
Tempat itu adalah lokasi di mana ia akan mempelajari hubungan antara Tadulako dan jejak zaman megalitikum di Lembah Bada.
Saat tiba di tempat patung berukuran besar yang tersebar di wilayah Lembah Bada hari sudah malam. Waktu menunjukkan pukul 00.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Di tengah hamparan padang savana. Sunyi. Hembusan angin sepoi-sepoi berbisik lembut di telinga, membawa aroma semerbak rumput hijau yang bergoyang perlahan.
Dalam ketenangan itu, mantan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf berdiri tegak di depan Patung Palindo yang menjulang megah di tengah padang savana.
Cahaya remang dari lampu mobil menyoroti detail-detail ukiran megah pada patung tersebut, menciptakan bayangan-bayangan yang menghidupkan kembali kejayaan masa lalu.
Dengan kedua tangannya, ia meraba lembut struktur patung, merasakan kejayaan dan kekuatan yang tertanam dalam batu-batu megalitikum itu diriingi dengan suara gemerisik dedaunan berpadu harmonis dengan desiran angin, menciptakan irama alam yang menenangkan.
Suara jangkrikpun berkumandang silih berganti, menciptakan keselarasan alami yang memenuhi ruang savana.
Mengenal Patung Palindo
Patung itu dikenal dalam bahasa setempat sebagai Patung Palindo, yang artinya "Sang Penghibur"
Patung Palindo adalah situs megalit tertinggi yang ada di lembah Bada. Tingginya hampir 3 kali tinggi badan normal orang Indonesia.
"Patung ini membuktikan bahwa di tempat ini pernah ada peradaban," kata Farid menjelaskan.
Keesokan harinya, masih di lembah Bada, suasana dipenuhi oleh ketenangan, Pria berdarah Madura ini berangkat untuk melakukan sebuah pertemuan dengan ketua-ketua adat di Tambi Adato Bada, suku Etnis Lore.
Di sana, di tengah hening yang hanya diiringi oleh suara alam, Mayjen Farid Makruf berusaha menggali makna yang tersembunyi di balik sebutan Tadulako.
Kata Farid, Tadulako, sebuah kata yang merujuk pada sesuatu yang tak asing bagi masyarakat Sulawesi Tengah. Namun, maknanya masih samar bagi banyak orang. Ada yang menyebut Tadulako sebagai pemimpin kerajaan, ada pula yang menganggapnya sebagai panglima perang.
Tetapi, di antara ragam pandangan tersebut, Mayjen TNI Farid Makruf ingin menyampaikan bahwa Tadulako bukan sekadar nama atau gelar, melainkan sesuatu nilai yang amat mulia.
Seiring perjalanan penelitiannya, seorang mayjen yang tekun mempelajari sejarah budaya Kaili ini, semakin memahami bahwa Tadulako bukanlah sekadar seorang individu, melainkan merupakan sebuah prinsip hidup yang dimiliki oleh suku Kaili.
"Tadulako melambangkan jiwa seorang pemimpin, seorang pejuang yang harus selalu berada di garis depan, menjadi panutan, dan memiliki semangat kepahlawanan," ucapnya.
Di tengah pertemuan yang khidmat itu, Farid yang saat ini menjabat sebagai Kaskostrad merasakan kedamaian yang begitu mendalam. Suasana lembah Bada telah memukau hatinya. Dengan penuh kekhusyukan, dia merenungi betapa berharganya setiap nilai yang terkandung dalam Tadulako.
Ketenangan yang diiringi oleh hembusan angin sepoi-sepoi memberikan nuansa yang begitu memikat dan melahirkan pemahaman dan pengetahuan yang lebih dalam tentang nilai ketadulakoan.
"Di tempat ini, kedamaian begitu meresap, udaranya terasa sejuk begitu menyegarkan," ucapnya dengan senyum simpul.
Komitmen Farid Makruf terhadap tugas dan tekadnya untuk melestarikan serta memahami pentingnya sejarah di daerah tersebut sungguh patut diacungi jempol. Perjalanannya mencerminkan dedikasinya terhadap tanggung jawabnya dan pemahaman mendalam akan pentingnya warisan budaya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menelusuri Jejak Tadulako: Perjalanan Mayjen TNI Farid Makruf di Lembah Bada Sulawesi Tengah
Pewarta | : Syarifah Latowa |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |