TIMES JABAR, JAKARTA – Edi Slamet Irianto, Guru Besar Politik Hukum Pajak Unissula (Universitas Islam Sultan Agung) Semarang menudukung rencana pemerintah melakukan pemisahan BPN (Badan Penerimaan Negara) dari Kementerian Keuangan. Menurutnya, pemisahaan ini bisa mengatasi kendala-kendala yang ada, termasuk mencegah kebocoran.
Edi Slamet Irianto, salah satu kandidat kepala BPN, mengungkapkan bahwa BPN sebagai lembaga baru ini akan memainkan peran krusial dalam mengatasi penurunan penerimaan negara, yang semakin mendesak di tengah kebutuhan belanja negara yang terus meningkat. Jika tidak segera diatasi, negara akan semakin tergantung pada utang.
Di sisi lain, kata Edi, birokrasi kementerian cenderung rumit dan terjebak oleh banyaknya aturan yang tidak memungkinkan bergerak lebih cepat dan terukur. Dampaknya, proses pengambilan putusan menjadi lamban padahal dituntut sangat cepat dan belum mampu mengatasi kebocoran. Selain itu, lembaga yang ada belum memanfaatkan teknologi data secara maksimal, atau membangun kerja sama yang efektif di bidang hukum sehingga rentan terhadap pengaruh politik dan kepentingan pemodal besar.
“Lembaga penerimaan yang ada, meski sudah direformasi sampai jilid IV, gagal mengatasi kebocoran, gagal memiliki data sains, gagal membangun kerja sama hukum, dan rentan terhadap intervensi kekuatan politik maupun pemodal besar dalam berbagai bentuknya,” ujarnya, Rabu (9/10/2024).
Edi yang merupakan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Bidang Perpajakan dan Penerimaan Negara, menjelaskan, bagi masyarakat, terutama pelaku usaha, kehadiran BPN diharapkan akan mempermudah proses pemenuhan kewajiban kepada negara karena segala pengaturan akan terkoordinasi dari satu lembaga.
"Sedangkan bagi negara, pembentukan BPN harus dapat membantu memprediksi penerimaan secara lebih akurat, dengan memanfaatkan data dan teknologi yang lebih canggih untuk memperkecil kesenjangan penerimaan pajak," ucapnya.
Sebagai informasi, Presiden terpilih Prabowo Subianto menekankan pentingnya pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan sejak kampanye pemilu 2019. Sebagai informasi, rencana pemisahan BPN dengan Kementerian Keuangan digaungkang oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sejak 2019 lalu.
Dalam pandangan Prabowo, BPN harus menjadi lembaga baru yang berfokus pada penerimaan negara dalam bentuk uang dari individu maupun badan usaha yang disetorkan langsung ke kas negara. Saat ini, tugas penerimaan negara masih dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
Kebijakan BPN Fokus pada Daya Beli Masyarakat
Salah satu masalah utama dalam keuangan negara adalah realisasi penerimaan yang selalu berada di bawah target, bahkan berada di peringkat terendah di kawasan ASEAN. Edi Slamet menekankan bahwa dengan status kelembagaan yang lebih kuat, BPN akan mampu bergerak lebih gesit dan responsif terhadap perubahan ekonomi.
Mengenai harapan agar BPN mampu mencapai target rasio penerimaan 23 persen tanpa menaikan tarif, Edi menjawab BPN dihadirkan untuk bisa menaikan target penerimaan tanpa harus membebani masyarakat kecil.
"Untuk jangka pendek, BPN tidak akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen bahkan jika memungkinkan, diturunkan ke 10 persen. Paling tidak, bertahan di 11 persen dengan catatan bahwa adminitrasi PPN akan diperbaiki secara fundamental untuk meningkatkan efisiensi tanpa membebani masyarakat kecil,” tutur doktor ilmu administrasi UGM ini.
Menurutnya, BPN, dalam kebijakannya, akan memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang memadai sesuai kapasitasnya. Selain itu, pembentukan BPN diharapkan menjadi solusi komprehensif untuk meningkatkan penerimaan negara secara lebih efektif dan efisien, serta memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk mempertahankan daya beli mereka. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kandidat Kepala BPN Edi Slamet Irianto: Pendapatan Negara Harus Naik tapi Tak Memeras Rakyat Kecil
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |