https://jabar.times.co.id/
Opini

Ketika Selebriti menjadi Aktor Demokrasi

Kamis, 04 September 2025 - 08:25
Ketika Selebriti menjadi Aktor Demokrasi Kiki Esa Perdana, Pengajar Ilmu Komunikasi Korporat pada Salah Satu Universitas di Jakarta.

TIMES JABAR, JAKARTA – Dalam sistem demokrasi, prinsip yang paling mendasar adalah kedaulatan rakyat. Artinya, setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk memilih pemimpin dan juga untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. 

Demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan ruang partisipasi yang terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau profesi. Di sinilah letak kekuatan demokrasi: ia memberi peluang bagi keberagaman representasi dan memperkuat legitimasi politik melalui keterlibatan publik yang luas.

Hak untuk memilih memungkinkan masyarakat menentukan arah kebijakan melalui pemimpin yang mereka percayai. Sementara hak untuk dipilih membuka pintu bagi berbagai figur public, termasuk dari kalangan profesional, akademisi, aktivis.

Bahkan selebritis untuk turut serta dalam proses politik, selama mereka memenuhi syarat hukum dan etika yang berlaku. Demokrasi yang sehat justru mendorong keterlibatan aktif dari berbagai lapisan masyarakat, karena semakin beragam aktor yang terlibat, semakin kaya pula perspektif yang hadir dalam ruang kebijakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pergeseran menarik dalam lanskap politik kontemporer: semakin banyak pesohor dari dunia hiburan yang masuk ke ranah politik. Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Di era digital dan media sosial, batas antara ruang hiburan dan ruang politik semakin kabur. 

Figur publik dari industri kreatif kini memiliki akses yang lebih mudah ke panggung kekuasaan, berbekal daya tarik personal dan jangkauan massa yang luas. Politik pun tak lagi semata soal gagasan dan ideologi, tetapi juga soal citra, emosi, dan kemampuan membangun koneksi instan dengan publik.

Di balik tren ini, terdapat dinamika sosial yang lebih kompleks. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap elite politik tradisional, dan muncul kebutuhan akan figur yang dianggap lebih “dekat” dengan rakyat. Budaya politik pun bergeser menuju konsumsi visual dan narasi personal. 

Selebritis hadir sebagai simbol alternatif, membawa harapan akan perubahan, meski sering kali dibingkai dalam logika popularitas ketimbang kapasitas. Fenomena ini membuka ruang bagi pertanyaan kritis: apakah demokrasi sedang memperluas partisipasi, atau justru memperdangkal substansi?

Dalam kerangka demokrasi partisipatif, keterlibatan selebritis dalam politik tentu sah dan dibolehkan. Demokrasi menekankan keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik, termasuk hak untuk mencalonkan diri, memilih, dan menyuarakan aspirasi melalui berbagai saluran, baik formal maupun kultural. 

Masuknya figur publik dari dunia hiburan mencerminkan perluasan spektrum partisipasi, di mana representasi politik tidak lagi terbatas pada elite partai, melainkan terbuka bagi siapa pun yang memiliki pengaruh sosial dan niat untuk terlibat.

Namun, partisipasi ini tetap perlu dikritisi secara substansial. Popularitas tidak selalu sejalan dengan kapasitas. Minimnya pengalaman dalam pemerintahan dan politik dapat menjadi hambatan serius dalam memahami isu-isu kompleks serta merumuskan kebijakan publik yang efektif. 

Ketika citra menjadi modal utama, pemilih berisiko terpikat oleh kemasan, bukan isi. Politik pun bisa berubah menjadi panggung performatif, bukan ruang perjuangan kepentingan bersama. Keterlibatan selebritis dalam politik adalah bagian sah dari demokrasi partisipatif, namun masyarakat tetap perlu bersikap kritis. 

Di satu sisi, kehadiran mereka bisa memperluas partisipasi, menarik perhatian publik terhadap isu-isu penting, dan menjembatani komunikasi antara negara dan warga. Di sisi lain, masyarakat harus mampu membedakan antara popularitas dan kapasitas, antara citra dan komitmen.

Dalam memilih pemimpin, ketenaran seharusnya bukan satu-satunya pertimbangan. Rekam jejak, pemahaman terhadap isu publik, dan keseriusan dalam menjalankan tugas politik jauh lebih penting. 

Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang siapa yang tampil di panggung, tetapi tentang bagaimana panggung itu digunakan untuk memperjuangkan kepentingan bersama. 

Maka, selebritis yang masuk politik bukanlah masalah selama masyarakat tetap menjadi penonton yang kritis dan pemilih yang cerdas. Tetiba saya teringat lirik lagu dari tulus yang brerjudul “manusia”, "Semua bisa bicara, tapi tak semua mendengar". (*)

***

*) Oleh : Kiki Esa Perdana, Pengajar Ilmu Komunikasi Korporat pada Salah Satu Universitas di Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 **) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.