https://jabar.times.co.id/
Opini

Modernisasi dan Transformasi Perempuan

Kamis, 05 Juni 2025 - 09:14
Modernisasi dan Transformasi Perempuan Sutanti Idris, S.E., CMC., Founder Aoife Social.

TIMES JABAR, JAKARTA – Banyak yang menyalahkan modernisasi atas berubahnya peran perempuan. Mereka bilang perempuan jadi “lupa kodrat”, terlalu bebas, atau tak lagi patuh pada norma. Tapi mari kita jujur: apakah kemajuan teknologi, akses informasi, dan pendidikan tinggi justru tidak membuka ruang yang lebih besar bagi perempuan untuk tumbuh dan memilih jalannya sendiri?

Modernisasi bukanlah musuh perempuan. Justru, ia adalah kesempatan besar yang memperluas cakrawala, membongkar batas-batas lama yang selama ini mengekang. Modernisasi adalah alat. Dan seperti alat lainnya, ia bisa membawa kebaikan, jika digunakan dengan bijak.

Hari ini, perempuan tidak lagi terjebak dalam dikotomi sempit: menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier. Dunia modern memberi mereka ruang untuk punya lebih banyak versi hidup menjadi ibu, menjadi pemimpin, menjadi pengusaha, atau bahkan semuanya sekaligus.

Ini bukan bentuk pemberontakan atau pelanggaran terhadap peran tradisional, melainkan ekspresi dari potensi manusia yang utuh dan berdaulat atas dirinya sendiri.

Sayangnya, sebagian masyarakat masih terpaku pada paradigma lama. Perempuan yang memilih karier sering dicurigai “tidak mau diatur.” Perempuan yang belum menikah di usia tertentu dianggap gagal atau terlalu memilih-milih. Perempuan yang lantang bersuara dicap “terlalu keras”, sementara yang memilih jalur sunyi dianggap tidak ambisius.

Padahal, inti dari kebebasan adalah pilihan. Ingin menikah muda? Bisa. Ingin membangun bisnis lebih dulu? Sah. Ingin menjadi ibu penuh waktu? Hebat. Ingin menyeimbangkan peran keluarga dan profesional? Itu juga luar biasa. 

Masalahnya bukan pada pilihannya, tetapi pada tekanan sosial yang menganggap hanya satu jalan yang benar: jalan yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Ironisnya, tekanan itu sering datang bukan hanya dari struktur patriarki yang masih kuat, tapi juga dari sesama perempuan. Di media sosial, perempuan sering dihakimi oleh standar yang tidak realistis: harus cantik, harus sukses, harus sabar, harus “ngemong”, harus semuanya. Beban ini semakin berat ketika masyarakat tidak memberi ruang untuk gagal, bereksperimen, atau bahkan berubah pikiran.

Yang sering menjadi masalah bukan modernisasinya, tetapi pola pikir yang tidak ikut berkembang. Kita hidup di era teknologi, tapi masih banyak yang berpikir dengan bingkai abad lalu. 

Pendidikan tinggi bagi perempuan masih dianggap sia-sia jika akhirnya “hanya di rumah”. Padahal, apakah rumah tangga bukan tempat paling penting untuk menghadirkan generasi masa depan yang cerdas dan setara?

Perempuan yang terdidik, berdaya secara finansial, dan bebas membuat keputusan bukanlah ancaman. Mereka adalah tiang kemajuan peradaban. Karena ketika perempuan diberi akses dan pilihan, mereka tidak hanya memperbaiki hidupnya sendiri, mereka mengangkat keluarga, komunitas, bahkan bangsanya.

Apa pun yang dipilih perempuan, selama itu adalah hasil dari kesadaran, pengetahuan, dan keinginan sendiri, maka itu adalah bentuk kemajuan. Feminisme bukan tentang membenci kodrat, tetapi tentang memberi hak untuk memilih-termasuk hak untuk tetap memeluk peran tradisional jika memang itu yang diinginkan. Feminisme sejati menghormati pilihan, bukan memaksa satu jalan hidup tertentu.

Perempuan tidak meminta lebih dari yang pantas. Mereka hanya ingin ruang untuk menjadi siapa pun yang mereka inginkan, tanpa stigma dan tanpa dihakimi. Dan modernisasi memberikan peluang besar untuk itu.

Ya, modernisasi menuntut adaptasi. Tapi ia juga memberi peluang luar biasa: belajar kapan saja, bekerja dari mana saja, berkontribusi tanpa harus hadir secara fisik. 

Dunia digital, akses informasi terbuka, komunitas online, dan platform edukasi telah memberi perempuan senjata baru untuk memperluas pengaruh, mendobrak batas, dan membuktikan bahwa mereka bisa dan boleh menjadi apa pun yang mereka impikan.

Modernisasi bukan racun. Ia adalah cermin. Cermin untuk menguji: apakah kita siap benar-benar melihat perempuan sebagai manusia seutuhnya? Bukan hanya sebagai istri, ibu, atau anak, tetapi juga sebagai individu yang berhak atas impian, kebebasan, dan kendali atas hidupnya sendiri.

Kini, saatnya kita berhenti menyalahkan kemajuan dan mulai memberdayakan pikiran. Perempuan tidak sedang terlalu bebas-mereka hanya sedang mulai bebas. Dan itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi untuk masa depan dunia yang lebih adil dan seimbang. (*)

***

*) Oleh : Sutanti Idris, S.E., CMC., Founder Aoife Social.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.