https://jabar.times.co.id/
Kopi TIMES

Selamat Datang Santri Baru: Polemik Pondok Pesantren

Jumat, 14 Juli 2023 - 16:06
Selamat Datang Santri Baru: Polemik Pondok Pesantren Siti Zulaeka, Alumni Pondok Pesantren El- Bayan Bendasari Majenang.

TIMES JABAR, CILACAP – Istilah santri  secara bahasa berasal dari Bahasa Sanskerta yakni shastri yang merujuk pada kata sastra berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Kata santri dimaknai pula dengan kala cantrik yang dalam sejarahnya merupakan pembantu Begawan atau resi. Lebih mudahnya santri memiliki makna  sebutan bagi seseorang yang tengah menempuh Pendidikan agama islam di pesantren.

Jejak  sejarahnya santri memiliki peranan yang sangat kuat dalam memerdekakan bangsa Indonesia hingga saat ini santri masih mampu berdikari terutama bergelut dalam bidang politik, sebut saja Wakil Presiden saat ini yakni KH Ma’ruf Amin merupakan santri tulen yang berhasil meniti karir dalam bidang politik untuk kemajuan bangsa Indonesia. Terbentuknya santri karena kehidupannya dimulai dari bangunan yang dinamakan pondok pesantren yang sekarang hampir setara banyaknya dengan bangunan-bangunan sekolah formal. 

Berbicara tentang santri tentu tidak bisa dipisahkan dengan kata pondok pesantren, sebab keduanya merupakan satu bagian. Menjelang tahun ajaran baru secara kalender Pendidikan tak gentarnya seluruh pesantren yang memiliki basic dengan sekolah formal tentu membuka lebar-lebar pintu pendaftaran agar pesantren tetap ramai dengan antusias orang tua yang menginginkan anak-anak nya mumpuni dalam bidang agama.

Seluruh pondok pesantren yang ada di berbagai pelosok negeri sedang berlomba-lomba mengkampanyekan pesantrennya masing-masing dengan dibarengi identitas atau khas lokal dari pesantren tersebut dan dari sinilah memilah dan memilih dengan kritikal sangat diperlukan khusunya bagi orang tua. 

Perspektif masyarakat tentang pondok pesantren adalah suatu bangunan yang didalamya memiliki banyak keberkahan ilmu dan para kiai yang ada didalamnya merupakan keturunan para ulama zaman dahulu, itulah mengapa sebagai orang tua kiranya memondokan adalah jalan yang benar untuk mendidik anak agar kelak tumbuh dewasa menjadi ahli dalam bidang agama. Beberapa dekade lalu dilansir dalam Kompas kasus pencabulan yang dilakukan oleh pengasuh pondok pesantren kepada 22 santriwati. Hal ini tejadi di kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Selain itu, disiarkan dalam media televisi swasta TvOne pengasuh pondok pesantren di Depok mencabuli 14 santri wati hingga sudah ada yang melahirkan, hal ini bersumber dengan dalih iming-iming jika menolak maka tidak adanya ridho dalam menuntut ilmu. Fenomena kekerasan seksual yang dialami para santri tentu menjadi potret buram bagi pesantren yang sudah berdiri sejak lama. 

Polemik pesantren tidak selesai hanya pada kekerasan seksual yang terjadi, saat ini masih begitu hangat siaran-siaran terkait kontroversi pondok pesantren Al-Zaytun Indramayu yang bangunannya sudah berumur hampir sepadan dengan bangsa Indonesia. Hemat penulis yang sangat disayangkan adalah kemunculan pondok pesantren Al-Zaytun ini menjelang pesta demokrasi, sehingga memiliki sisi pandang yang berbeda lagi masyarakat terhadap pondok pesantren yang lain, sebab bicara tentang masyarakat Khususnya Indonesia adalah satu kejadian dijadikan pedoman. Citra pondok pesantren tentu mengalami minus dalam pandangan masyarakat yang padahal hanya oknum yang melakukannya. 

Menjadi santri adalah privilege bagi semua orang, sebab tidak semua manusia yang ada di bumi ini merasakan bagaimana lika-likunya menjadi santri. Santri dijuluki sebagai manusia serba bisa ketika sudah berkolaborasi dengan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang menganggap santri adalah manusia ajaib yang dalam tingkahnya selalu memiliki nilai kebaikan yang harus diamalkan, maka tak heran jika banyak santri yang mulai meniti karir dalam pekerjaan hingga menjadi public figure. Harus dipahami bahwa pondok pesantren hanya bangunan yang berdiri kokoh tanpa hidup, sehingga sebagai santri alangkah baiknya hidup dalam pondok pesantren serta menghidupinya bisa dengan berkarya dalam bidang seni, bidang pendidikan atau juga bidang literasi.

Menjadi Santri Yang Berani 

Menilik kejadian yang menimpa beberapa decade lalu tentang kekerasan jalan yang diambil adalah harus berani. Jika ada yang memandang rendah seorang santri karena begitu tawadu’ tentu kurang tepat jika dalam posisi permasalahan tersebut. Sebagai santri harus bisa memposisikan mana letak yang mengarahkan ke dalam benar dan yang salah. Kekerasan seksual seri g terjadi karena relasi kekuasaan.

Knapa demikian? Karena korban lebih dianggap rendah secara kekuasaan dengan pelaku. Berani menolak bukan berarti sedang melakukan tindak kejahatan atau bukan berarti tidak memiliki tata krama terhadap sang guru. Namun, ajakan kepada kemnungkaran adalah ajakn yang tidak perlu untuk dipatuhi dan ini bukan hanya berlaku untuk kasus tersebut tapi ajakan teman, juga hal demikian sebab kasus bullying juga masih menjamur dalam tataran pondok pesantren baik secara fisik atau non fisik.

Alangkah lebih baiknya jika pondok pesantren mulai mensosialisasikan hal-hal demikian untuk menjadi perhatian santri baru agar tumbuh tunas-tunas yang lebih mawas diri. Memang sudah sangat betul jika memiliki rasa malu adalah bagian dari mahkota dalam diri, bukankah memerangi rasa malu untuk melakukan hal kebaikan justru memberikan mahkota kepada yang lain? Itulah mengapa berani harus ada pada diri santri. 

Santri Yang Mandiri 

Memaknai santri yang tinggal di pondok pesantren dan tentu jauh dari jangkaun orang tua. Hal demikian sudah sangat lumrah dirasakan semua santri yang ada di bumi, Sebagian orang tua meniatkan anaknya untuk mondok adalah agar tumbuh jiwa mandiri sejak dini sehingga Ketika dewasa nanti sudah mampu mengelola problem-problem kehidupan dengan tidak bergantung pada pemikiran orang lain.

Kata mandiri bagi penulis sejajar dengan kata independent yang memiliki arti berdiri sendiri. Maksud dari menjadi santri mandiri adalah dengan jauh dari orang tua kita memiliki cita-cita yang memang tumbuh dari diri sendiri tanpa ada intervensi dari orang lain. Justru mandiri ini adalah sebagai bentuk latihan bagaimana nanti Ketika santri sudah merambah dunia kemasyarakatan tentu akan ada banyak persoalan-persoalan seperti fiqih kehidupan, tentang tauhid dan lainnya  yang harus diputuskan secara bijak dan bajik. Sehingga makna mandiri lebih luas dalam menumbuh kembangkan diri sendiri. 

Santri Yang Tasamuh, Tawazun dan Tawasuth. 

Bahwa saat ini toleransi adalah barang yang sangat berharga untuk menjaga kerukunan. Perbedaan keyakinan dan perbedaan madzhab menjadi boomerang untuk umat islam menjadi terpecah belah. Tugas seorang santri bukan mendukung kepada salah satunya, tetapi menjadi tawasuth atau penengah dari perpecahan tersebut.

Jika menilik sejarah bagaimana umat islam dihadirkan adalah tidak dengan melalui paksaan, peperangan terjadi bukan umat islam yang mendahului artinya segala tindak tunduk jika berdasarkan agama santri harus memiliki sifat tasamuh yakni toleransi. Menjadi santri yang pinter ngaji tentu tidak ada yang menyalahkan justru itu menjadi kebanggan, tapi menjadi santri yang keminter karena ngajinya sehingga dengan mudahnya melabeli seseorang dengan kemampuan rendah tentu itu adalah hal yang kurang memantaskan.

Sebagai santri yang hidup di era society 5.0 sebuah peradaban dengan hidup berdampingan tekonologi tentu tidak menjadikan seorang santri melabeli semua perkembangan zaman ini dengan istilah makruh atau haram karena tidak ada saat zamannya nabi Muhammad. Sangat disayangkan jika seorang santri memiliki cara pandang sedangkal itu, sehingga perlu kiranya santri memiliki sifat tawazun yakni berimbang.

Seperti nasihat Imam Syafi’I rahimahullah yang dinulik oleh Imam Nawawi dalam Muqodimmah karya beliau “Al-Majmu’”:

'Barang siapa menginginkan kehidupan dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka harus dengan ilmu dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka harus dengan ilmu

***

*) Oleh: Siti Zulaeka, Alumni Pondok Pesantren El- Bayan Bendasari Majenang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.