TIMES JABAR, JAKARTA – Arba'in dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Arbain merupakan salah satu ibadah yang dilakukan jemaah haji di Kota Madinah al Munawarah, yaitu melakukan shalat fardu empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam.
Arbain sejatinya bukanlah merupakan bagian daripada ritus haji, tetapi jemaah haji pada umumnya mengharapkan betul bisa melaksanakan Arbain ini terutama berkaitan dengan keutamaan shalat Arbain yang luar biasa
Para jemaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal delapan hari agar bisa menjalankan shalat Arba'in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad)
Pada umumnya para jemaah haji, termasuk jemaah haji dari Asia Tenggara khususnya dari Indonesia, mengikuti program arba'in ini sehingga untuk mencapai target 40 kali shalat fardhu, mereka harus menetap tinggal di Madinah sekurang-kurangnya delapan hari.
Luar biasanya keutamaan Arbain ini sehingga banyak jemaah haji termasuk jemaah haji asal Indonesia tidak ingin melewatkannya, bahkan tidak sedikit para jemaah haji lanjut usia dan risiko tinggi (risti) sekalipun memaksakan diri hadir di Masjid Nabawi untuk mengikuti shalat berjamaah demi tercapainya angka Arbain.
Tingginya antusiasme jemaah dalam mengikuti Arbain melahirkan anggapan pada sebagian jemaah bahwa Arbain adalah bagian dari rangkaian ritus haji yang tidak bisa ditinggal, sehingga tidak jarang ditemukan jemaah lanjut usia dan risiko tinggi (risti) yang kedapatan pingsan di Masjid Nabawi karena terlalu memaksakan diri dalam kondisi tubuh yang kurang sehat, keletihan karena perjalanan, mengesampingkan kondisi kesehatannya demi bisa melaksanakan Arbain.
Pada prinsipnya Arbain bukanlah bagian daripada rangkaian ritus haji yang terikat oleh waktu-waktu tertentu sebagaimana rukun haji seperti wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah dan melempar jumroh di Mina, sehingga bagi umat islam yang ingin menjalankan Arbain sejatinya tidak harus pada musim haji atau waktu khusus.
Mengkaji Ulang Masa Tinggal Jemaah Haji di Madinah
Jemaah haji Indonesia tinggal selama lebih kurang delapan hari di Madinah dari total durasi 40 hari di Arab Saudi.
Masa delapan hari di Madinah tersebut dipergunakan oleh jemaah haji Indonesia untuk melaksanakan ibadah Arbain.
Namun masa tinggal delapan hari tersebut acapkali memunculkan polemik tersendiri pada aspek manajemen haji Indonesia, polemik dimaksud diantaranya adalah ketika pesawat atau kendaraan yang mengangkut jemaah ke Madinah mengalami keterlambatan maka itu akan mengurangi jatah waktu yang bisa digunakan oleh jemaah haji untuk melaksanakan Arbain.
Atau ketika jemaah haji harus segera didorong dari Madinah baik untuk diberangkatkan ke Mekah bagi jemaah haji gelombang satu atau harus segera didorong ke bandara bagi jemaah haji gelombang dua yang akan pulang ke tanah air karena alasan transportasi dan sebagainya, maka hal ini juga dapat mengganggu jadwal Arbain.
Pada kondisi seperti itu jemaah harus memilih antara meneruskan Arbain atau resiko ketinggalan pesawat. Sehingga hal ini seringkali menimbulkan protes keras dari jemaah yang harus meninggalkan Madinah sementara target Arbain belum terpenuhi.
Apabila konsep Arbain tetap dipertahankan, maka mutlak masa tinggal jemaah haji di Madinah minimal harus delapan hari isi, dan tentu ini berpengaruh kepada aspek biaya penginapan, konsumsi, transportasi, dan juga aspek kesehatan jemaah.
Apabila Arbain tidak lagi diterapkan pada rangkaian Ibadah haji maka tentu akan berpengaruh pada cost di Madinah dan juga pada manajemen haji itu sendiri. Artinya dari segi biaya perjalanan ibadah haji bisa sedikit berkurang sehingga ada baiknya konsep Arbain dikaji kembali dan disuarakan kepada masyarakat.
Beberapa negara seperti Malaysia, Turki, Mesir dan beberapa negara lain tidak lagi menjadikan Arbain sebagai program pada rangkaian ibadah haji, sehingga jemaah haji dari negara-negara tersebut hanya sebentar berada di Madinah, rata-rata antara dua hingga lima hari yang mereka manfaatkan untuk berziarah di makam Rasulullah, beribadah di Raudhah dan lain-lain.
Arbain Sebagai Contra Flow Arus Jemaah
Mengapa ada program Arbain pada rangkaian ibadah haji khususnya jemaah haji Indonesia? Hal ini tentu tidak lepas dari adanya situasi dan kondisi di masa lalu dimana bandara yang digunakan sebagai pendaratan pesawat angkut jemaah haji hanya terpusat di bandar udara King Abdul Aziz di Jeddah.
Hal ini menuntut adanya pengaturan arus jemaah yang begitu besar dengan sistem dua gelombang
Jemaah haji berangkat dari Indonesia langsung mendarat di bandara King Abdul Aziz Jeddah, dari bandara King Abdul Aziz kemudian diberangkatkan ke Mekah sebagai titik tujuan seluruh jemaah haji dari berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan jumlah jemaah yang begitu besar maka terjadi arus yang cukup besar dari jedah menuju Mekah.
Ini tentu sangat mengagetkan dalam aspek manajemen. Maka Arbain dimunculkan sebagai rangkaian perjalanan ibadah haji agar konsentrasi jemaah dipecah tidak menumpuk di Mekah dengan konsep dua gelombang. Muncullah kemudian konsep gelombang satu dan gelombang dua.
Gelombang satu diberangkatkan dahulu dari Jeddah menuju Madinah, Kemudian dari Madinah menuju Makkah, dari Makkah menuju kembali ke Jeddah untuk selanjutnya pulang ke tanah air.
Gelombang dua diberangkatkan dari Jeddah menuju Makkah, kemudian dari Makkah menuju Madinah, dari Madinah menuju Jeddah (sebelum digunakannya bandara Madinah).
Kenapa itu terjadi karena untuk memecah konsentrasi jemaah kita yang begitu besar.
Pada perjalan waktu Bandar Udara Internasional Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz Madinah dibuka untuk pesawat angkut jamaah haji termasuk jemaah haji Indonesia bisa mendarat disana, sehingga paradigmanya kemudian berubah.
Bila melihat Arbain dalam perspektif contra flow arus sirkulasi jemaah menuju Makkah dengan konsep dua gelombang, dengan diperbolehkannya pesawat pengangkut jemaah haji mendarat di bandara Madinah maka Arbain dalam kacamata aspek strategi pemecahan konsentrasi jemaah haji tidak lagi relevan.
Apalagi ada wacana bahwa kedepan Arab Saudi akan kembali membuka beberapa bandar udara yang juga akan difungsikan sebagai pendaratan pesawat angkut jemaah haji, maka dalam konteks contra flow Arbain menjadi semakin tidak relevan lagi.
Tentu akan ada pro kontra apabila kemudian pemerintah dalam hal ini kementerian agama kedepan mengambil kebijakan tidak lagi memberlakukan Arbain pada rangkain perjalanan ibadah haji Indonesia, namun langkah berani ini penting diambil untuk pengelolaan manajemen haji yang lebih baik ke depan.
***
*) Oleh: Musaffa Safril, Petugas Layanan Lansia Sektor 1 Madinah, PPIH Arab Saudi 2023.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |