TIMES JABAR, BOGOR – Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan prinsip fundamental dalam teori komunikasi, menekankan pentingnya aliran informasi bebas dan tidak terhalang sebagai sarana vital untuk pertukaran ide dan pembentukan opini publik. Menurut McQuail (2010), kebebasan ini tidak hanya berkontribusi pada perkembangan individu, tetapi juga esensial untuk memastikan partisipasi aktif warga dalam masyarakat demokratis.
Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang mencakup hak untuk memegang opini tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, serta menyebarkan informasi dan ide melalui media apa pun. Pendekatan ini menyoroti bagaimana teori komunikasi menginterpretasikan dan mendukung hak asasi ini dalam konteks media yang lebih luas, menekankan perannya dalam memfasilitasi dialog sosial dan pertukaran budaya.
Perkembangan media sosial telah merevolusi cara kita berkomunikasi, menggeser paradigma komunikasi yang khas pada media tradisional, menjadi model komunikasi yang lebih interaktif dan partisipatif. Media sosial tidak hanya memfasilitasi pembentukan jaringan sosial, tetapi juga memungkinkan individu untuk menghasilkan dan berbagi konten dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini menandai pergeseran signifikan dari model komunikasi linear tradisional, yang ditandai dengan penyiaran pesan oleh sedikit sumber kepada banyak penerima, menjadi model yang lebih dinamis dan dialogis. Dalam hal ini, media sosial bertindak sebagai platform bagi individu untuk tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga untuk berpartisipasi aktif dalam produksi dan distribusi konten.
Peran media sosial ini dalam meredefinisi lanskap komunikasi menunjukkan perubahan fundamental dalam cara individu berinteraksi, berbagi informasi, dan berpartisipasi dalam diskusi publik, menantang batasan tradisional antara pembuat berita dan audiens. Kini, setiap pengguna media sosial berpotensi menjadi sumber informasi, baik sebagai penyampai cerita maupun sebagai kritikus yang mempengaruhi narasi publik. Platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram telah menjadi ruang publik digital tempat beragam suara dan perspektif bertemu, berbenturan, dan terkadang bersinergi, menghasilkan lanskap media yang lebih pluralistik dan demokratis.
Fenomena ini telah mengubah dinamika kekuasaan dalam diseminasi informasi. Di era sebelumnya, gatekeeping informasi - proses seleksi berita yang akan dipublikasikan - hampir secara eksklusif berada di tangan editor media tradisional. Namun, di era media sosial, gatekeeping telah beralih ke tangan masyarakat luas, dimana setiap individu memiliki kekuatan untuk memengaruhi apa yang menjadi berita dan bagaimana sebuah cerita diceritakan. Kekuatan ini, walaupun memberikan kesempatan yang lebih besar bagi ekspresi bebas, juga membawa tantangan baru, seperti penyebaran informasi yang tidak diverifikasi atau hoax, yang menuntut kebutuhan akan literasi media yang lebih tinggi di kalangan masyarakat.
Media sosial juga telah menjadi medan baru untuk berbagai isu kompleks, termasuk miss-informasi, ujaran kebencian, dan cyberbullying. Isu-isu ini memberikan dampak signifikan terhadap dinamika komunikasi di media sosial, serta memiliki implikasi mendalam terhadap teori dan praktik komunikasi. Miss-informasi, yang sering menyebar lebih cepat daripada informasi akurat, menciptakan tantangan unik dalam memastikan integritas dan keandalan komunikasi online. Fenomena ini tidak hanya mengganggu proses penyebaran informasi yang akurat, tetapi juga memperkeruh pemahaman publik tentang isu-isu penting.
Sementara itu, ujaran kebencian dan cyberbullying di media sosial, menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampak negatif terhadap individu dan kelompok, mengganggu dialog yang sehat dan mengancam keamanan psikologis pengguna. Praktik-praktik ini menantang teori komunikasi tradisional yang berfokus pada pertukaran ide bebas dan konstruktif, mengharuskan praktisi dan teoretis komunikasi untuk meninjau kembali asumsi-asumsi mengenai komunikasi bebas risiko.
Isu-isu ini memaksa para ahli komunikasi untuk mengembangkan strategi baru dalam memahami dan mengelola komunikasi di era digital. Hal ini mencakup perlunya pendidikan literasi media yang lebih kuat untuk membantu publik mengidentifikasi dan merespons secara kritis terhadap informasi yang salah, ujaran kebencian, dan perilaku merugikan lainnya di media sosial. Implikasi dari fenomena ini terhadap praktik komunikasi adalah jelas: ada kebutuhan mendesak untuk keterampilan baru, kebijakan, dan alat dalam mengelola dan memfasilitasi komunikasi online yang sehat dan konstruktif.
Sejalan dengan perubahan dramatis dalam lanskap komunikasi yang dibawa oleh media sosial, pendapat dan analisis dari ahli komunikasi, pengamat media, dan masyarakat menawarkan perspektif yang beragam dan mendalam. Ahli komunikasi seperti Castells (2013) menekankan bahwa media sosial telah memperkuat demokratisasi informasi, namun juga mengakui bahwa hal ini membawa tantangan dalam bentuk overload informasi dan penyebaran konten yang salah. Dari sudut pandang pengamat media, Sunstein (2018) berargumen bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk pluralitas suara, ia juga menyebabkan polarisasi dan fragmentasi dalam diskursus publik.
Di sisi lain, masyarakat, sebagai pengguna aktif media sosial, memiliki pandangan yang beragam. Sebuah survei oleh Pew Research Center (2021) mengungkapkan bahwa meskipun banyak pengguna menikmati kebebasan berekspresi yang diberikan oleh platform ini, mereka juga prihatin tentang penyebaran berita palsu dan kurangnya kontrol atas privasi. Pendapat ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, masyarakat tetap waspada terhadap efek sampingnya. Pendekatan multi-perspektif ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam memahami dan menanggapi dinamika kompleks dari komunikasi di era media sosial.
Kesimpulannya, analisis terpadu dari para ahli, pengamat, dan masyarakat menawarkan wawasan yang berharga dalam memahami tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh media sosial dalam konteks komunikasi modern. Media sosial, yang telah meredefinisi batas-batas komunikasi tradisional, menghadirkan sebuah dunia dimana suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan kini dapat didengar, tetapi juga tempat di mana miss-informasi, ujaran kebencian, dan cyberbullying berkembang.
Fenomena kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial menawarkan wawasan yang berharga tentang masa depan komunikasi kita. Ini adalah cerminan dari masyarakat kita: beragam, berisik, kreatif, dan terkadang kacau. Namun, dengan upaya bersama dan pemahaman yang mendalam, kita dapat mengarahkan kekuatan media sosial untuk membentuk masyarakat yang lebih informatif, terlibat, dan empatik. Kita dihadapkan pada tugas untuk menavigasi lanskap ini dengan hati-hati, mempertahankan nilai-nilai kebebasan berekspresi, sambil secara aktif melawan praktik yang dapat merusak integritas dan kesehatan komunikasi publik.
***
*) Oleh : Audrey Anastasya, Mahasiswi Program Studi Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |