TIMES JABAR, CIREBON – Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah sudah mulai berjalan selama satu pekan ini. Setelah sebelumnya terdapat polemik mengenai aturan pilkada 2024 di dua lembaga negara yang berwenang, yakni MK dan DPR. Hal tersebut kemudian berdampak kepada munculnya gelombang protes dari masyarakat.
Pasalnya, setelah beberapa aturan yang dirasa rancu dan diajukan oleh kelompok masyarakat untuk uji materil, akhirnya diputuskan oleh MK menjadi jelas dan terang. Tak lama kemudian, saat menjelang tahapan pilkada 2024 tiba-tiba DPR membuat manuver untuk membahas dan mengesahkan RUU Pilkada 2024 yang baru secara cepat. Hal ini tentunya dibaca oleh banyak kalangan sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi serta aktivitas yang sarat akan kepentingan kelompok ataupun pihak tertentu.
Tingkah DPR yang cukup mencurigakan ini, akhirnya direspon oleh masyarakat dalam bentuk gelombang protes. Sehingga pada akhirnya, RUU Pilkada 2024 yang menjadi pembahasan tidak jadi disahkan. Setelah itu, Kpu pun menegaskan akan mengadopsi putusan MK dalam PKPU untuk Pilkada 2024 ini. Namun, beralih dari hal itu perlu diketahui bahwa adanya Pilkada ini tentu hakikatnya sebagai bagian dari komitmen akan keberlangsungan otonomi daerah di negara Indonesia.
Jika kita melihat sejarah, bangsa ini telah memilih otonomi daerah sebagi bagian dari desentralisasi kekuasaan negara di tingkat pusat. Aturan undang-undang pun berkembang dan berubah dalam rangka relevansi sesuai dengan dinamika kesejarahan bangsa. Adapun aturan mengenai otonomi daerah yang berlaku saat ini ialah UU no 23 tahun 2014.
Selanjutnya perlu diterangkan bahwa, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian tersebut tercantum dalam UU no 23 tahun 2014. Serta masih banyak lagi aturan mengenai otonomi daerah yang diuraikan secara jelas dalam UU tersebut.
Lalu jika kita perhatikan akhir-akhir ini, berita politik tentang kontestasi pilkada 2024 sedang hangat-hangatnya diangkat oleh media massa. Kita bisa melihat para elit partai politik saat ini sedang menyusun strategi untuk saling berebut kursi kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia. Bagi para elit, momentum pilkada ini mungkin saja dapat dimanfaatkan untuk mengambil suara secara maksimal untuk menguasai wilayah tertentu serta mengangkat elektabilitas partai.
Sejumlah data penduduk saat ini yang direpresentasikan sebagai suara rakyat, mungkin saja hanya dilihat sebagai statistik elektoral untuk memenangkan kompetisi yang sedang berlangsung. Saat ini, bisa jadi mereka (elit/parta politik) lebih terfokus pada strategi mengambil suara sebanyak-banyaknya, agar dapat menjadi penguasa daerah, baik di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota. Popularitas dan nama baik partai rasa-rasanya menjadi taruhan utama, ketimbang memperhatikan kemajuan pembangunan daerah.
Padahal dapat diketahui saat ini banyak sekali pekerjaan rumah bangsa Indonesia yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, melalui pengelolaan serta perencanaan otonomi daerah yang baik serta kecerdasan membaca kebutuhan dan potensi masing-masing wilayah, maka hal itu akan sejalan dengan semangat terbentuknya konsep otonomi daerah.
Dengan demikian, selaras dengan hal tersebut, maka saat ini diperlukan sosok pemimpin yang mampu menjalankan otonomi daerah secara baik. Lantas apakah partai politik sudah bisa memenuhi ekspektasi dan harapan masyarakat daerah melalui pasangan calon yang mereka usung dalam Pilkada 2024?
Sebagai masyarakat, tugas kita ialah menjadi kekuatan penyeimbang. Suara masyarakat yang secara prosedural digunakan dalam setiap momentum pemilu, merupakan representasi dari hak politik individu yang dijamin dalam konstitusi.
Peran kita tentu sangat berpengaruh, Karena kita adalah masyarakat pemilih yang berdaulat. Masyarakat bisa memilih untuk ikut berpartisipasi maupun tidak, hal ini dikembalikan pada masing-masing individu.
Oleh karena itu, jadilah masyarakat yang sadar dan bertanggungjawab. Yakni masyarakat yang tak hanya ada di momentum Pilkada saja, akan tetapi ikut berperan mengawal penyelenggaraan kekuasaan yang berlangsung, dalam hal ini khususnya di daerah masing-masing.
***
*) Oleh : Hafid, Guru Madrasah Al-Magfirah Sumber Cirebon.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pilkada 2024: Bancakan Elit atau Semangat Otonomi Daerah
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |