TIMES JABAR, JAKARTA – Selain permasalahan pencemaran udara yang terjadi di Jakarta, permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia juga menarik perhatian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera ditangani dengan baik.
Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan pihaknya telah mengajukan gugatan terhadap 22 perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dari 22 perusahaan yang digugat, 14 di antaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan total nilai putusan sebesar Rp 5,60 triliun.
Belum lama ini kebakaran serius kembali terjadi di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Thomas Nifinluri, mengungkapkan pasukan Manggala Agni KLHK dan tim gabungan terus berupaya memadamkan api seiring dengan peningkatan hotspot di wilayah tersebut.
Luas Karhutla di wilayah Kalimantan Barat tahun 2023 sampai dengan Juli seluas 1.962,59 Ha. Angka tersebut relatif lebih rendah sekitar 13% dibandingkan tahun sebelumnya sepanjang periode yang sama. Namun pengaruh El-Nino mengharuskan kewaspadaan terus dilakukan karena berpotensi terjadi peningkatan.
Karhutla masih terus terjadi terutama di Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Karhutla hebat pernah terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997/1998 yang berdampak sangat parah. Termasuk gangguan kesehatan, kecelakan darat, jatuhnya pesawat dan efek asap yang sampai ke negara tetangga.
Pada rentang tahun tersebut, Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia. Kejadian ini dinyatakan sebagai salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad (Glover 2001).
Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi pembakaran lahan tidak terkendali sehingga merembet ke masyarakat maupun perusahaan.
Apabila pembukaan lahan dilaksanakan dengan pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan lahan tersebut sering dilaksanakan untuk usaha perkebunan, HTI (Hutan Tanaman Industri), pertanian lahan kering, sonor dan mencari ikan. Mirisnya, modus pembakaran lahan sering digunakan di wilayah konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat demi memenangkan sengketa status lahan.
Perusahaan kelapa sawit menyewa tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah.
Potensi bahaya yang timbul kemudian adalah rusaknya lahan hayati dan perumahan warga. Menimbulkan kabut asap sehingga sempat mengganggu mobilitas barang dan masyarakat, dan mengancam kesehatan rakyat.
Islam Mengatur Pengurusan Sumber Daya Alam
Hutan adalah salah satu kekayaan alam yang wajib menjadi milik umum. Pemanfaatannya tidak boleh membahayakan kehidupan dan lingkungan. Islam memiliki aturan dalam pengelolaan harta milik umum oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw "Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal; air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah). Kemudian, Rasul juga bersabda "Tiga hal yang tak boleh dimonopoli yaitu; air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu.
Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mau al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap muslim termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah.
Demikianlah untuk mengakhiri kekisruhan pengelolaan sumberdaya alam seperti yang terjadi saat ini. Kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, semua itu hanya akan dinikmati segelintir orang terutama pihak asing. Terbukti, di tengah melimpahnya sumberdaya alam, mayoritas rakyat di Negeri ini justru hidup miskin.
***
*) Oleh: Chairunisa (Mahasiswa Universitas Padjadjaran prodi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |