TIMES JABAR, MAJALENGKA – Komunitas penelusur sejarah Grup Madjalengka Baheula atau Grumala telah menemukan lokasi makam Cina kuno yang tersembunyi di bawah bukit kecil di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
"Informasi mengenai makam ini saya peroleh sekitar 10 tahun lalu. Bersama rekan Grumala, lalu kami menjelajahi tempat itu yang ternyata terpencil di hutan di bawah bukit kecil wilayah Kelurahan Munjul, Kecamatan Majalengka," ungkap Naro kepada TIMES Indonesia pada Rabu (29/11/2023).
Meski hanya satu makam, namun huruf di nisan batunya masih terlihat. Tapi sayangnya, Naro dan timnya kesulitan membacanya. Beruntung, bantuan datang dari komunitas pecinta makam Cina tua, dan melalui foto nisan yang dikirimkan oleh Grumala, misteri ini akhirnya dapat terpecahkan oleh Om Abe.
Dari terjemahan tulisan pada batu nisan, terungkap bahwa tokoh di makam ini adalah Auw Hong Djiong, yang wafat pada tahun 1798 dalam usia tua dan dengan banyak keturunan.
Nisan, atau dalam istilah makam Cina disebut Bong Pay, terbuat dari batu dengan ornamen lambang bulat di atasnya, menandakan doa untuk ketenangan di alam sana. Struktur makam terdiri dari tiga susunan, dan satu batu kecil menandakan keberadaan dewa bumi yang agak jauh terpisah.
Makam Cina ini tergolong tua, menurut Om Abe, masuk dalam lima makam tertua di wilayah Cirebon, dengan yang paling tua berada di Indramayu, makam seorang Kapitan Cina yang wafat pada tahun 1760-an.
Dengan bermarga Auw, makam Cina di Munjul ini mengungkapkan kisah keluarga yang terhubung dengan Auw Seng Ho di Kadipaten, seorang saudagar kaya di Karangsambung pada masa kolonial Belanda.
Auw Seng Ho, seorang saudagar kopi dan teh yang penting di Pabrik Gula Kadipaten, mendapatkan pangkat Tituler Kapten dari pemerintah kolonial Belanda. Pangkat ini bukanlah pangkat militer, melainkan penghargaan atas ketokohannya di kalangan Tionghoa di Kadipaten, Majalengka dan Jatiwangi.
Naro lalu memaparkan keterangan yang didapatnya dari Komar, seorang mantan Kepala Desa Babakananyar, bahwa Kapten Auw Seng Ho ini memiliki putri bernama Auw Tjoe Lan, pendiri Yayasan Ati Soetji di Batavia pada tahun 1920-an, yang hingga kini masih eksis dengan nama Yayasan Hati Suci di Jakarta.
"Yayasan ini tidak hanya membantu orang Tionghoa tetapi juga masyarakat pribumi, terutama anak terlantar dan wanita korban kejahatan seksual," jelasnya.
Terkait tokoh makam Tionghoa di Munjul, bernama Auw Hong Djiong, diperkirakan tiba di Majalengka sekitar tahun 1750-an, seiring dengan pendiri Kelenteng Hok Teng Tjeng Sin Majalengka Kulon oleh Tan Sam Chay pada tahun 1803.
"Menurut Engkong Edi Subari, juru pelihara Klenteng bahwa orang-orang Tionghoa pertama kali datang ke Majalengka pada tahun 1750-an dari Cirebon. Keluarga Auw Hong Djiong mungkin adalah gelombang pertama orang Tionghoa yang tiba di Majalengka saat itu," tutur Naro.
Naro mengatakan, makam Auw Hong Djiong Munjul sudah didata oleh Tim BALAR (Balai Arkeologi) Jawa Barat setahun lalu, termasuk dalam kategori situs bersejarah Majalengka.
Oleh karenanya, ia pun berharap kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan segera melakukan pendataan ulang dan menetapkan makam Cina kuno itu sebagai Benda Cagar Budaya Kabupaten Majalengka. (*)
Pewarta | : Hendri Firmansyah |
Editor | : Ronny Wicaksono |