TIMES JABAR, CIREBON – Pada prosesi penyatuan tanah dan air di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Gubernur Ridwan Kamil membawa tanah dan air dari 27 Kota/Kabupaten di Jawa Barat. Salah satunya tanah dan air dari makam keramat Pangeran Suryanegara di Kampung Wanacala Harjamukti Kota Cirebon.
Siapa sebenarnya sosok Pangeran Suryanegara?
Menurut Pemerhati Sejarah dan Budaya Cirebon, Jajat Sudrajat, Pangeran Suryanegara merupakan adik dari Sultan Sepuh Kasepuhan V, Sultan Matangaji atau Sultan Sofiudin.
Sebagai adik dari Sultan Kasepuhan, Pangeran Suryanegara bertanggungjawab untuk meneruskan perjuangan sang kakak dalam melawan penjajahan kolonial Belanda. Pangeran Suryanegara merupakan tokoh perlawanan dari kezaliman Belanda pada saat itu.
Jajat menyebutkan, awalnya makam Pangeran Suryanegara berada di Kompleks pemakaman Gunung Sembung, atau makam para Raja dan keturunan Keraton. Namun karena satu dan lain hal, dan juga tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, makam Pangeran Suryanegara dipindahkan ke Wanacala.
"Wana artinya Hutan, Cala artinya Perlawanan jadi Wanacala adalah Hutan perlawanan. Karena Beliau adalah figur perlawanan masyarakat Cirebon terhadap kezaliman Belanda. Makam itu dipindah atas permintaan keluarga dan juga masyarakat Cirebon, tetapi juga karena adanya tekanan yang dahsyat dari Belanda," kata Jajat.
Beberapa sumber juga menyebutkan, Pangeran Suryanegara adalah seorang Pangeran yang enggan berada didalam Istana karena merasa muak dengan tingkah laku Belanda. Di mana pada saat kakaknya, Sultan Matangaji berkuasa, tepatnya pada 1773-1786, Belanda sudah berhasil memecah belah Kesultanan Cirebon.
Beliau bersama dengan Kakaknya Sultan Matangaji, melakukan perlawanan terhadap kekejaman Belanda. Sampai akhirnya, Sultan Matangaji harus terbunuh karena sebuah pengkhianatan yang merupakan taktik dari Belanda.
Pangeran Suryanegara seharusnya menjadi Sultan Sepuh Kasepuhan menggantikan kakaknya. Namun ia enggan dan lebih memilih meneruskan perjuangan Sultan Matangaji dalam melawan Belanda. Hingga akhirnya, tahta Kerajaan diserahkan kepada Ki Muda, yang konon katanya menjadi dalang pembunuhan Sultan Matangaji sendiri.
Selepas Sultan Matangaji Wafat, Pangeran Suryanegara terus melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Beliau mendatangi Pesantren-pesantren, untuk mengajarkan Syiar Islam, dan juga mempersiapkan para santri untuk melakukan perlawanan kepada Belanda.
Dengan melancarkan perang gerilya dan taktik tutup kembu (tempat menaruh ikan yang terbuat dari bambu), pasukan Pangeran Suryanegara berhasil membuat pasukan Belanda kewalahan. Dari taktik tersebut, pasukannya mampu merampas senjata yang dimiliki Belanda.
Tak ayal, Pemerintah Belanda marah besar akibat perlawanan yang diberikan pasukan Pangeran Suryanegara. Perlawanan terhadap Belandapun berlangsung cukup lama, hingga Pangeran Suryanegara berhasil melebarkan wilayah yang dikuasainya, dari mulai Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan bahkan sampai Sumedang.
Pangeran Suryanegara sendiri memiliki banyak nama, di antaranya, Arya Panengah, Pangeran Suryadilaga, dan Pangeran Suryakusuma. Beliau merupakan Putra ketiga dari Sultan Sepuh Kasepuhan ke IV Sultan Amir Sena.
Beliau wafat karena sakit dan usia yang sudah tua. Belum ada sumber yang menyebutkan secara pasti, tahun berapa Pangeran Suryanegara wafat.
Perjuangan Pangeran Suryanegara dalam melawan penjajahan Belanda diteruskan oleh para generasi setelahnya, hingga kemudian meletuslah kembali perang kedongdong yang dikomandoi oleh Ki Bagus Rangin.
Dari perlawanan Pangeran Suryanegara dan pasukan Ki Bagus Rangin, Pemerintah Kolonial Belanda bukan hanya kehilangan banyak pasukan, tapi juga harus kehilangan uang yang cukup banyak untuk menghadapi perlawanan dari pribumi.
Nama Pangeran Suryanegara telah melekat di masyarakat Cirebon, bahkan masyarakat Ciayumajakuning. Terbukti dari setiap Kamis malam Jumat, makam Pangeran Suryanegara ramai dikunjungi oleh peziarah dari Wilayah Ciayumajakuning.
Pangeran Suryanegara boleh saja dicap sebagai pemberontak oleh Pemerintah Belanda, namun beliau menjadi pahlawan di mata masyarakat Cirebon. (*)
Pewarta | : Nurhidayat |
Editor | : Ronny Wicaksono |