TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Di ruang kelas lantai atas Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Bahagia Kota Tasikmalaya, nampak empat siswa disabilitas tuna netra tengah asik meraba mengenali uang rupiah kertas tahun emisi 2022.
Di antara keempat siswi disabilitas yang bernama Nadya, Dinda, Sherin dan Frecile, nampak seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Tasikmalaya bernama Syifa Azkia Purwanti.
Syifa Azkia Purwanti tengah mengedukasi uang kertas, yang terdiri dari tujuh pecahan yakni Rp100 ribu, Rp50 ribu, Rp20 ribu, Rp10 ribu, Rp5 ribu, Rp2 ribu, dan Rp1 ribu.
Syifa mendatangi beberapa SLB dan Komunitas Penyandang Tuna Netra dalam rangka penelitian tentang pengenalan uang bagi kalangan tuna netra di sejumlah SLB dan Komunitas Tuna Netra di Kota Tasikmalaya.
Syifa mengungkapkan saat ini dukungan dan perhatian untuk menopang kemandirian masyarakat kalangan disabilitas tampaknya harus terus diperkuat.
Karena menurutnya sebagian besar tuna netra misalnya belum paham, kendati ada coding berupa garis timbul di bagian pinggir di setiap uang kertas baru.
"Bisa kita lihat dari hasil edukasi barusan, dari empat siswi hanya satu siswi yang dapat mengenali uang baru dengan meraba dan benar, itu pun tidak semua, hanya 3 lembar dari tujuh lembar pecahan yang kita berikan, kalau kita simpulkan mereka masih kesulitan mengenali uang pecahan baru ini," ungkapnya kepada TIMES Indonesia di sela edukasi, Rabu (23/11/2022)
Ia menyebut coding yang jadi komitmen Bank Indonesia (BI) sebagai bentuk inklusi keuangan perlu disosialisasikan secara masif, malah menurutnya coding tersebut disarankan diganti braile.
Saat responden tuna netra dicoba dengan menempelkan hurup braile dalam penelitiannya menurutnya , mereka bisa dengan gampang dan mengenali uang kertas tersebut
"Sosialisasi terkait pengenalan uang baru emisi tahun 2022 bagi tuna netra saya harap harus lebih masif dilakukan,"harapnya
Kalau untuk uang baru yang belum lusuh ada sebagian kecil tuna netra yang tahu. Tetapi ketika kualitas uang sudah lusuh alias lecek, maka mereka mengalami kesulitan dan tak lagi bisa menerka nominal uang tersebut.
"Saya hanya menyarankan pemerintah dapat membubuhkan braile pada uang kertas, sebab para tuna netra akan lebih cepat mengenal braile, sebab braile itu bagian dari pendidikan dan ajaran di sekolah yang sepertinya tidak akan berubah, sedangkan coding tentunya akan berubah-berubah dan ini yang akan menghambat pada proses pengenalan," terangnya
Sementara itu praktisi pendidikan SLB, Aris Rahman, M Pd dan Ibnu Aqsyn sepakat agar pihak terkait memberi perhatian khusus dalam pengenalan nominal uang untuk tuna netra dalam mendorong kemandirian para disabilitas, terutama tuna netra.
Karena kalau dibiarkan tidak paham, menurut Aris mereka rentan terperdaya baik saat akan bayar angkutan umum, transaksi jual beli atau lainnya.
"Banyak sekali saya mendengar dan mendapat keluhan dari tuna netra yang berprofesi sebagai pelaku usaha jasa pijat, mereka acapkali menerima upah yang tidak sesuai dengan apa disepakati, belum lagi untuk membedakan mana uang asli dan mana uang palsu." ujar Ibnu.
Meskipun jumlahnya dianggap sedikit, keberadaan tuna netra menurut Aris harus mendapat perhatian sama. Seperti halnya untuk sosialisasi pengenalan uang baru memang seingatnya, dirinya pernah mendengar ada sosialisasi uang baru untuk perwakilan guru SLB terkait karakter uang baru.
Hanya hal itu tampaknya tidak lantas tersosialisasikan kepada sebagian besar guru lainnya, sehingga para guru pun belum tahu dalam menjelaskan kepada para peserta didiknya, terutama untuk pelajar yang sudah tuna netra sejak lahir.
"Kalau untuk tunet yang sempat melihat sebelum menjadi tuna netra, relatif lebih gampang," ujar Aris.
Aris berharap kepada Bank Indonesia (BI) atau stakeholder lain di bidang keuangan bisa lebih mendalami kalangan disabilitas untuk kemudian bisa diaplikasikan dalam sebuah kebijakan yang benar-benar ramah difabel.
"Jika kebijakan coding dianggap atau diklaim ramah difabel, saya pikir sosialisasinya bisa lebih masif alias tidak setengah hati," pungkasnya terkait sosialisasi uang rupiah pada disabilitas tuna netra, termasuk di Kota Tasikmalaya. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Ronny Wicaksono |