https://jabar.times.co.id/
Berita

Menyelami Tasikmalaya dan Para Penjaga Calung Tarawangsa dari Kepunahan

Senin, 25 Oktober 2021 - 18:37
Menyelami Tasikmalaya dan Para Penjaga Calung Tarawangsa dari Kepunahan Para personel sanggar seni Dangiang Budaya, satu-satunya grup seni Tarawangsa yang tersisa di Tasikmalaya, sedang menampilkan seni Tarawangsa dalam gelaran Ngaruwat Kota Tasikmalaya, di Bukit Lestari beberapa hari yang lalu (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Ind

TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Siang itu langit di atas Kampung Cigelap, Desa Parung, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, begitu cerah. Awan-awan tipis seperti berlarian tertiup angin. Sebuah mobil berkelir hitam berhenti di tepi jalan raya yang menjadi penghubung Kota Tasikmalaya dengan wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya.

Iman Rachman, turun dari mobil. Ia menyeberang jalan menuju sebuah gapura yang di sisi kirinya terdapat tulisan ‘CIGELAP’. Setelah memasuki gapura, tanjakan curam menyambut di bawah rimbunnya pohon-pohon kayu besar yang menjulang. Diameter pohon melebihi lingkaran perut kerbau. 

Usai melewati tanjakan berkelok dengan kemiringan hampir 60 derajat, terlihat permukiman yang tak begitu padat. Langkah Iman terhenti di muka sebuah rumah berpagar bambu setinggi perut orang dewasa. "Assalamulaikum," ucap lelaki berkemeja lengan panjang warna merah itu, sambil mendorong pintu pagar.  

Abah-Oman-anggota-sanggar-seni-Dangiang-Budaya.jpgAbah Oman anggota sanggar seni Dangiang Budaya, personel yang memainkan alat musik Tarawangsa dari grup seni Tarawangsa keluar dari rumahnya menuju acara  gelaran Ngaruwat Kota Tasikmalaya, di Bukit Lestari beberapa hari yang lalu (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

Dari dalam rumah terdengar jawaban salam seiring terbukanya pintu bercat hijau. Sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman, lelaki berpakaian serba hitam dari dalam rumah mengajak Iman masuk. Dia adalah Abah Oman, personel sanggar seni Dangiang Budaya, satu-satunya grup seni Tarawangsa yang tersisa di Tasikmalaya.

Usai bersalaman dengan Abah Oman (76) beserta istrinya Koko Komariah, (70), Iman bercakap beberapa menit lalu keluar untuk menjemput personel-personel lainnya. Selang 15 menit, datang Mang Yana (54) - peniup seruling, bersama Mang Yayan (46) -pemukul Calung Indung. Tak lama datang Mang Sajan (56) - pemukul Calung Anak.

Abah Oman kemudian keluar dan berkumpul dengan tiga rekannya yang masing-masing menggendong tas besar berkelir hijau tentara. Di dalam tas itu berisi alat musik pegangan masing-masing. Tas yang dibawa Mang Yana lebih besar dari yang lainnya lantaran berisi Calung Indung.

Hampir setengah jam empat lelaki berpakaian serba hitam, dipadu ikat kepala motif batik berwarna coklat, berkumpul di pelataran rumah Abah Oman. Mereka menunggu salah satu personel pelantun lagu-lagu Sunda, Mak Enar (74).

Mereka akhirnya memutuskan menuju mobil duluan karena cukup lama menunggu Mak Enar. Iman dan empat pemain kesenian Tarawangsa itu menunggu di dalam mobil yang terparkir di tepi jalan.

Para-personel-sanggar-seni-Dangiang-Budaya-2.jpgPara personel sanggar seni Dangiang Budaya, satu-satunya grup seni Tarawangsa yang tersisa di Tasikmalaya, bergegas dari kampung Cigelap menuju  gelaran Ngaruwat Kota Tasikmalaya, di Bukit Lestari beberapa hari yang lalu (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

Setelah belasan menit, Mak Enar akhirnya muncul. Mobil hitam yang mereka tumpangi meluncur menuju Bukit Lestari, di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, yang berjarak sekitar 32 kilometer dari Kampung Cigelap, Desa Parung, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya.

Sepanjang perjalanan, Abah Oman menceritakan kiprahnya di dunia seni yang telah digeluti sejak berusia 20 tahun. Sebelum pandemi Covid-19, undangan untuk memainkan kesenian tua itu terbilang banyak, dalam sebulan bisa dua sampai tiga kali. Apalagi saat memasuki musim panen.

Begitu juga saat memperingati hari-hari besar keagamaan dan hari besar nasional. Tahun pertama pandemi, karena adanya pembatasan aktivitas masyarakat, membuat acara-acara kesenian setop. "Setahun lebih gak ke mana-mana. Paling main juga kalua diundang sama yang sakit, yang panen, atau pindah rumah," sebut Abah Oman.

Abah Oman membuat sendiri Tarawangsa dari bahan kayu yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Bahanya bisa kayu nangka, kenanga, jengkol, dadap, kemiri, serta mahoni. Selain untuk dimainkan sendiri, Tarawangsa buatannya juga dijual berdasarkan pesanan. Sebuah Tarawangsa biasanya dijual Rp 350-500 ribu. 

Selain Tarawangsa, bahan untuk calung juga didapat dari di sekitar kampung. Semua bahan yang mudah dicari tanpa harus membeli. Dawai untuk kecapi dan Tarawangsa misalnya, mereka memanfaatkan kawat baja bekas kopling. 

Sedangkan untuk alat penggeseknya, memakai ijuk. Tali perangkai potongan bambu untuk Calung Renteng, terbuat dari ‘areuy’ sejenis tumbuhan merambat di pohon-pohon kayu besar di hutan. Jika keringkan dan dibuat tali akan kuat dan kokoh. 

Selain sebagai sarana hiburan, musik Tarawangsa juga dipercaya menyimpan fungsi magis. Ayah empat anak ini mengatakan sering diundang untuk mengobati orang sakit, dari yang kesurupan, lumpuh, sampai buta. Memainkan Tarawangsa di tempat orang sakit biasanya pada malam hari. Dimulai pukul delapan sampai pukul dua subuh, begitu juga jika bermain di tempat hajatan. 

Dalam ritual pengobatan, mereka bermain langsung di samping orang yang sedang sakit. "Tergantung keadaan, ada yang langsung sembuh dengan dengan sekali main, ada yang sampai tiga kali main baru terlihat sembuh. Sebagian, atas izin Allah ada yang cukup sekali atau dua kali langsung sembuh," Yana menjelaskan.

Pengobatan dengan memainkan Tarawangsa biasanya dilakukan untuk orang sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan cara medis. Keluarga yang sakit mendapat petunjuk dari ‘orang pintar’. "Orang pintar menyebutnya dengan simbol, ‘kudu diubaran kai bengkung’ (harus diobati kayu bengkok) atau ‘kudu meuncit kai’ (harus menyembelih kayu)," Yana menerangkan.

Sebutan ‘Kai Bengkung’ itu untuk Tarawangsa, begitu juga dengan ‘Meuncit Kai’, sebutan orang-orang kampung untuk alat musik serupa biola itu. Mereka sendiri tak mengerti, kenapa Calung Tarawangsa bisa menyembuhkan orang sakit. Namun, berdasarkan orang-orang tua mereka, suara Tarawangsa itu mengandung aura gaib. 

"Kami sendiri tidak tahu pasti. Tapi kata orang-orang tua, Tarawangsa (di Kabupaten Tasikmalaya) ini sudah sering dimainkan sejak zaman Prabu Siliwangi berkuasa di tatar Sunda. Ya, herannya memang banyak yang percaya bisa untuk mengobati," imbuh Yana. (*)

Pewarta : Antara
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.