TIMES JABAR, BANDUNG – Berita penyitaan aset-aset Kebun Binatang Bandung yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menjadi sorotan warga Bandung dan awak media belum lama ini.
Aset disita tetapi operasional masih bisa dijalankan oleh managemen Yayasan Margasatwa Tamansari sehari-hari.
Dengan pemberitaan yang beragam tentang hal ini, tentunya polemik keberadaan Kebun Binatang Bandung yang telah berprestasi mengonversi banyak hewan langka jadi “terganggu”.
Advokat senior Dindin S. Maolani yang juga penggerak Majelis Masyarakat Sunda (MMS) merasa prihatin.
"Saya memperhatikan sekali terkait dengan kasus Kebun Binatang yang bersengketa cukup lama. Saking cukup lamanya, kami baru mendengar ada korban dari kasus ini yaitu Ketua Pengurus dan Ketua Pembina Yayasan Margasatwa Tamansari ditahan oleh pihak yang berwajib. Menurut saya, kasus ini lebih banyak nuansa ke perdatanya yang menyinggung hal yakni status tanah Kebun Binatang di sini,” ujarnya.
“Sebagai informasi, masalah tanah di sini tidak ada yang memiliki sebenarnya karena perlu diketahui bahwa tanah Kebun Binatang Bandung ini ada sejak tahun 1933 dimana pada saat itu kepemilikannya adalah orang Belanda, Hoogland pecinta satwa dan juga orang pribumi dan salah satunya adalah R.Ema Bratakoesoema,” tutur Dindin, Senin (17/2/2025).
Dindin pun menerangkan bahwa dari perjalanan Hoogland dan Raden Ema dahulu, maka pengurusan dan pengelolaan Kebun Binatang Bandung selanjutnya beralih kepada pengurus Yayasan Margasatwa Tamansari yakni Kang Romly (Alm.) hingga sekarang terus berjalan ke pengurus yayasannya yakni Bisma.
Ia juga mengungkapkan bahwa sebetulnya Yayasan Margasatwa berhak memiliki tanah ini yaitu dengan catatan harus mengajukan hak kepemilikannya. Dan apabila yayasan belum mengajukan hak tersebut, hal ini tidak menjadi alasan tiba-tiba seseorang yang menjadikan Ketua Yayasan Margasatwa sebagai pidana.
Aktivis Majelis Masyarakat Sunda menjelaskan ketidaksukaannya berkaitan dengan kasus tanah/perdata dialihkan menjadi kasus pidana. Hal ini karena biasanya jika ada pengalihan kasus dari perdata melibatkan nuansa penegak hukum seperti kasus pidana, dibelakang pengalihan ini ada penggeraknya yakni pengusaha yang berniat untuk ngagadabah aset urang Sunda (mengambil aset warga Sunda).
“Yayasan Margasatwa Tamansari ini dikelola oleh orang-orang terhormat dari kalangan kesundaan. Jadi, tolonglah selesaikan persoalan ini dengan baik, kesampingkan hal-hal yang menyangkut pribadi. Karena jika tidak diindahkan, kami, Majelis Masyarakat Sunda beserta jajarannya beserta pini sepuh juga tidak akan tinggal diam akan turun turut membantu persoalan ini selesai,” tegas Dindin.
“Kalau persoalan perdata, gugat menggugat, itu hal biasa maka jalankan saja proses menggugat itu tapi jangan sembarangan menahan orang.Ini kan perilaku tidak lucu. Kebun Binatang ini statusnya dibekukan tetapi pengelolaannya dipersilahkan dijalankan oleh Yayasan, sementaraorang yang memiliki kemampuan tata kelola Kebun Binatang ini malah ditahan dimasukkan penjara. Apa ini tidak lucu?” ujar Dindin.
Idrus Mony,S.H., Penasihat Hukum tersangka Ketua Pengurus dan Ketua Pembina Yayasan Margasatwa Tamansari menambahkan bahwa pemerintah harus mengambil langkah.
”Melihat statement dari Majelis Masyarakat Sunda, ini artinya pemerintah harus bisa segera sadar saatnya untuk merujuk kepada pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah no 20 tahun 2021 tentang penertiban kawasan terlantar. Dan ini seharusnya bisa menjadi sikap bijak bagi pemerintah bahwa penguasaan lahan ini telah dikelola oleh Yayasan Margasatwa ini. Dari sini tidak cukup beralasan untuk pihak-pihak manapun Pemerintah Kota Bandung mengklaim sepihak kepemilikantanah yang ada di Kebun Binatang Bandung ini," ujarnya.
Sementara itu, Budhi Agung S.H mengatakan dari sisi kepemilikan tanah ini seharusnya harusnya menjunjung tinggi supremasi hukum yang ada di negara ini.
"Bagaimanapun juga semua sedang diuji, artinya seyogyanya siapapun juga, elemen masyarakat, semua penegak hukum menghormatilah semua proses yang sedang berjalan ini," papar Budhi.
“Sebagaimana kita tahu, sampai saat ini belum ada satu putusan pengadilan yang menyatakan tanah ini milik siapa. Itu yang memang saya ingin menghimbau, ayolah kita sama-sama hormati ini.Jadi, mari kita hormati kalau sudah ada keputusan hukumnya, tentunya kita juga harus hormati semua tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun keputusan pengadilan bahwa tanah ini milik pemerintah Kota Bandung,” pungkas Budhi.
Majelis Masyarakat Sunda
Majelis Musyawarah Sunda (MMS) adalah sebuah forum yang dibentuk sebagai wadah musyawarah bagi masyarakat Sunda dalam kerangka kesundaan, kebangsaan, dan kenegaraan. MMS berkomitmen untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan masyarakat Sunda dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
MMS dideklarasikan pada 8 Juli 2024 di Aula Barat Gedung Sate, Kota Bandung, dengan dihadiri oleh ratusan tokoh Sunda. Forum ini terdiri dari tiga elemen utama: pinisepuh (tetua adat), forum pakar, dan badan pekerja.
Visi MMS, "Sunda Mulia Nusantara Jaya," terinspirasi dari cita-cita dua tokoh nasional Sunda, Oto Iskandar di Nata dan Ir. H. Djuanda Kartawijaya. Visi ini mencerminkan keinginan agar suku bangsa Sunda menjadi masyarakat yang mulia—menghargai diri sendiri dan dihargai oleh suku bangsa lain—serta berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
MMS bukanlah sebuah organisasi formal, melainkan sebuah forum atau kaukus yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Sunda untuk berdiskusi dan mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi, baik dalam konteks regional maupun nasional. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Advokat Senior dan Aktivis MMS: Kebun Binatang Bandung Aset Bangsa
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Deasy Mayasari |