TIMES JABAR, JAKARTA – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Apituley menyatakan kekecewaannya terhadap peristiwa perundungan berkelompok di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Indragiri Hulu Riau beberapa waktu lalu dan tidak berselang lama, korban perundungan yang merupakan anak SD kelas 2 berinisial KB (8) harus kehilangan nyawanya.
“KPAI menyampaikan bela sungkawa mendalam kepada keluarga korban, atas kematian ananda KB pada Senin, 26 Mei 2025, seminggu setelah perundungan terjadi,” ucap Komisioner KPAI Sylvana Apituley dalam keterangan persnya kepada TIMES Indonesia di Jakarta pada hari ini, Kamis (5/6/2025).
Komisioner KPAI Sylvana Apituley. (FOTO: dok. Pribadi for TIMES Indonesia)
Komisioner KPAI Sylvana Apituley menyayangkan peristiwa perundungan di sekolah yang dilakukan oleh lima orang kakak kelas terhadap KB pada Senin, 19 Mei 2025 lalu yang luput dari perhatian pihak sekolah. Padahal perundungan di satuan pendidikan termasuk jenis kekerasan terbanyak ke-6 yang dilaporkan kepada KPAI tahun 2024.
Bahkan, lanjut Sylvana, dalam ruang konsultasi anak dari berbagai wilayah di Indonesia, perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi, bahkan pada titik tertentu “diterima” sebagai keseharian yang “normal” dan tak dapat dihindari.
“Hal ini karena lemahnya sistem pencegahan dan penanganan di sekitar korban yang mengakibatkan tidak sedikit anak rentan yang pasrah dan bungkam, “menerima” perlakuan perundungan sendirian dalam sunyi,” kata Sylvana.
Ia menegaskan bahwa perundungan terhadap anak merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Anak, yaitu hak untuk bertumbuhkembang dan bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
“Perundungan tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele, apalagi diterima sebagai kewajaran. Mengecilkan esensi dan dampak perundungan berpotensi membudayakan dan meningkatkan kasus perundungan,” tegasnya.
Hasil Visum Polda Riau
Sylvana menyatakan, berdasarkan hasil penyelidikan terkait meninggalnya KB (8) pada Rabu (4/6/2025) kemarin yang sudah dikoordinasikan oleh berbagai pihak, KPAI menyampaikan apresiasi kepada Polda Riau, yang cukup cepat memproses laporan kasus.
“Berdasarkan hasil visum et repertum dan otopsi, Dirreskrimum Polda Riau menyatakan penyebab kematian korban bukan perundungan melainkan infeksi sistemik yang diakibatkan oleh infeksi yang luas (dan akut) dalam rongga perut korban akibat pecahnya appendix,” sebutnya.
“Namun demikian, proses penyelidikan akan dilanjutkan dengan menggunakan hasil otopsi sebagai dasarnya, untuk mendapatkan kepastian final penyebab kematian korban. Selain itu, karena usia kelima Anak masih di bawah 12 tahun, maka mereka tidak dapat dihukum, sebaliknya dikembalikan kepada orangtuanya,” sambungnya.
Dalam kesempatan itu, KPAI juga mengapresiasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kabupaten Indragiri Hulu yang telah memberi perhatian khusus dan mendukung keluarga korban serta merekomendasikan Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Indragiri Hulu agar: mendukung penuh penyelidikan lanjutan oleh Polda Riau untuk memastikan terpenuhinya hak korban atas kebenaran dan keadilan.
“Kepada Polda Riau juga agar menuntaskan proses hukum secara transparan, independen, cepat dan adil bagi korban dan keluarganya, terutama dengan menemukan motif sesungguhnya di balik perundungan terhadap korban dan kepada pimpinan dan para guru SD tempat korban dan pelaku bersekolah, agar memastikan tidak ada korban dan atau kasus perundungan lain yang belum teridentifikasi,” tandasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: KPAI Tolak Normalisasi Perundungan, Minta Keadilan untuk Korban
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |