TIMES JABAR, TASIKMALAYA – Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan perubahan pola belanja masyarakat, pasar tradisional tak lagi menjadi pilihan utama. Lorong kios pakaian di blok A3 Pasar Induk Cikurubuk Tasikmalaya contohnya, yang kini makin sepi.
Pantauan TIMES Indonesia saat memasuki salah satu lorong tak seorang pun melintas apalagi aktivitas jual beli.
Sementara itu, di lorong blok B2, seorang pria duduk di sebuah bangku kayu menunggu kios pakaian di antara deretan kios yang tutup dan terkunci, sebagian kios menempel beberapa poster bertuliskan disewakan atau dijual.
Pasar Induk Cikurubuk yang dulunya ramai kini mulai kehilangan gemerlapnya. Ratusan pedagang di pasar ini, khususnya yang menjual pakaian, sepatu dan tas, terpaksa gulung tikar karena tak mampu bersaing dengan toko-toko online.
Blok A3, B2, dan C2, yang merupakan pusat perdagangan sandang, kini dipenuhi dengan kios yang akan dijual atau dikontrakkan.
Kondisi ini menggambarkan betapa tepuruknya para pedagang kios pakaian yang terdampak dari perdagangan elektronik atau e-commerce, seperti yang diceritakan Aldi (56).
Aldi seorang pedagang pakaian kepada TIMES Indonesia menceritakan kondisi yang dialami oleh rekan-rekan seprofesinya. Menurutnya hampir beberapa tahun kondisi penjualannya sangat sepi.
"Sekarang kios pakaian di Cikurubuk sepi, banyak yang sudah tutup, hampir 50 persen lah. Silakan saja dilihat, banyak kios yang akan dijual atau dikontrakkan," kata Aldi Jumat (19/7/2024).
Menurutnya, perubahan perilaku belanja masyarakat yang lebih memilih berbelanja secara online menjadi penyebab utama.
Adi juga mengakui bahwa harga jual di pasar tradisional tak bisa bersaing dengan harga di toko online. Pedagang pasar atau pedagang eceran kini tergilas model penjualan daring yang memungkinkan konsumen membeli langsung dari produsen.
"Walaupun sudah diprediksi sama kita, pasar kita sekarang kalah sama toko online, saat ini masyarakat sudah berubah cara belanjanya. Toko online mungkin dirasa lebih mudah, walau pun kadang dalam kenyataan tidak sedikit yang complain akibat tidak sesuai bahan atau tak cocok ukuran," ujarnya.
Aldi mengakui persaingan dalam harga pakaian dengan toko online sangat berat, pasalnya yang di toko online kebanyakan adalah produsen pakaian yang langsung menjual produknya secara daring. Selain itu tidak terbebankan oleh biaya kontrakan atau operasional tempat kios.
"Dalam harga, jelas kita jauh dan berat sekali, kalau di online kan tak sedikit konveksi atau pabrik yang langsung jualnya, apalagi kita terbebankan oleh biaya sewa toko. Masa ada harga baju di online yang harganya Rp36.000?" terangnya.
Selain itu, strategi pedagang grosir di sekitar pasar Cikurubuk yang ikut melayani konsumen eceran semakin memperparah kondisi ini.
Aldi warga yang tinggal di salah satu perumahan di Kawasan Jalan BKR ini mengaku telah berjualan selama 15 tahun di Pasar Cikurubuk, dirinya menyatakan bahwa situasi saat ini sudah sangat kritis, kondisi ini sangat kontras dibandingkan dengan omzet yang ia peroleh belasan tahun lalu.
Bahkan menurutnya ada Sebagian rekan seprofesinya banting stir alih usaha berjualan dengan membuka kedai minuman seperti es jus dan makanan ringan. "Di momen lebaran kemarin saja keuntungan kita hanya separo dibanding dengan lebaran beberapa tahun sebelumnya," tambahnya.
Ia mengaku untuk mempertahankan usahanya dirinya merintis membuka toko di luar Kota Tasikmalaya seperti di Kota Sukabumi dan Kota Serang. Selain itu dirinya pun mulai merintis penjualan dengan mengikuti konsep toko online walaupun terkendali dari SDM admin toko.
Kepala UPT Pasar Cikurubuk, Deri Herlisana pada awak media membenarkan keluhan para pedagang kebutuhan sandang tersebut. "Bukan sering lagi, hampir setiap hari menerima keluhan pedagang," kata Deri.
Dia mengakui bahwa perdagangan elektronik membuat omzet pedagang sandang di Pasar Cikurubuk turun drastis.
"Memang transaksi online sangat berpengaruh terhadap penjualan pakaian di pasar Cikurubuk, selain itu grosir besar yang ada disekitar pasar memperparah kondisi penjualan dengan menjual secara eceran seperti para pedagang di kios, padahal pedagang kan belinya dari sana juga," jelas Deri.
Menurutnya, dari 2.700 kios yang ada, sekitar 30 persen sudah tutup atau ditinggalkan pedagangnya. Namun, terkait kios yang dilabeli dijual atau dikontrakkan, Deri menegaskan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan secara aturan.
"Dari total 2.700 kios sudah sekitar 30 persen tutup. Nah terkait dijual atau disewakan itu sebenarnya tidak boleh karena kios itu milik pemerintah. Tapi memang di kalangan pedagang hal itu sering terjadi, dalihnya yang mereka jual adalah lapaknya," terang Deri.
Kondisi ini memunculkan tantangan besar bagi kelangsungan pasar tradisional seperti Pasar Cikurubuk. Meskipun e-commerce menawarkan kemudahan dan harga yang kompetitif, keberadaan pasar tradisional tetap memiliki nilai penting sebagai pusat ekonomi lokal.
Dukungan dari pemerintah dan inovasi dalam pemasaran digital bisa menjadi solusi untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang pasar tradisional.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat, para pedagang pasar tradisional diharapkan dapat beradaptasi dan memanfaatkan peluang yang ada.
Pelatihan digital marketing dan regulasi yang mendukung persaingan sehat bisa menjadi langkah awal untuk memastikan pasar tradisional tetap bertahan dan berkembang di tengah era digitalisasi ini. (*)
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Ronny Wicaksono |