TIMES JABAR, INDRAMAYU – Jembatan Cimanuk merupakan salah satu jembatan yang terpenting di wilayah Indramayu, khususnya di pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu. Jembatan ini menjadi jalur penghubung yang melintasi Sungai Cimanuk, yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Jembatan ini berjarak sekitar 50 meter dari Alun-alun Indramayu, dan berada di dekat titik nol Indramayu. Sejak zaman dahulu, jembatan ini menjadi jalur perhubungan yang sangat penting, antara sisi barat dan timur Sungai Cimanuk. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak berdiri bangunan zaman kolonial di sekitar jembatan.
Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Indramayu, Dedy S Musashi, jembatan Cimanuk yang sekarang berbeda saat pertama kali dibangun. Namanya pun sudah berganti sebanyak 3 kali.
Pembangunan jembatan ini berawal dari jalur perhubungan antara sisi barat dan timur Sungai Cimanuk, yang biasa menggunakan jukung atau perahu. Saat itu, wilayah Indramayu terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh Sungai Cimanuk.
Sebelah timur Sungai Cimanuk adalah wilayah kekuasaan Bupati dengan asisten residen. Sedangkan di sebelah barat Sungai Cimanuk merupakan kekuasaan kolonial Belanda yang oleh masyarakat dahulu disebut administrator.
"Dalam catatan Residen Cirebon wilayah Kota Indramayu pada tahun 1873 itu terbelah menjadi dua yang dipisahkan oleh Sungai Cimanuk," ujarnya, Minggu (28/2/2021).
Sungai Cimanuk sejak dahulu dikenal sebagai jalur transportasi perdagangan, dan menjelma menjadi bandar atau pelabuhan besar dan ternama di Pulau Jawa. Di sini, banyak perahu besar yang hilir mudik mengangkut hasil bumi melintasi Sungai Cimanuk. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bangunan bekas pabrik-pabrik penggilingan beras yang berada di sekitaran Sungai Cimanuk.
Demi mempermudah akses perhubungan antara sisi barat dan timur Sungai Cimanuk, maka pemerintah kolonila Belanda membangun sebuah jembatan pada tahun 1900-an, dengan menggunakan konstruksi baja khas Belanda.
Bentuknya tampak memanjang, karena pondasi jembatan hanya berada di kedua sisi sungai saja, sehingga jembatan tampak terlihat menggantung. Oleh masyarakat, jembatan tersebut dinamakan Kreteg Gantoeng atau Jembatan Gantung.
Berkat adanya jembatan penghubung tersebut, maka jalur transportasi menjadi lancar. Hingga beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1930-an, wilayah Indramayu mengalami perkembangan pesat. Populasi di Indramayu pun semakin bertambah, dan membuat nama Kreteg Gantoeng menjadi semakin terkenal.
Hal tersebut dibuktikan dengan dibangunnya beberapa bangunan penting di sekitar Sungai Cimanuk, seperti sekolah, kantor, rumah sakit, dan rumah-rumah milik orang Belanda.
Jembatan ini kemudian diubah konstruksinya pasca kemerdekaan, tepatnya sekitar tahun 1960-an. Jembatan yang semula tampak menggantung, diubah yang memiliki tiang penyangga dengan landasannya berupa papan berjajar. Karena bentuknya yang demikian, maka masyarakat menyebutnya sebagai Kreteg Sorog.
Dengan diubahnya konstruksi jembatan, maka jembatan ini bisa dibuka tutup, sebagai akses kapal-kapal yang lewat Sungai Cimanuk. Karena saat itu, Sungai Cimanuk masih ramai dilalui oleh kapal-kapal.
"Saat namanya Kreteg Sorog, jembatan ini bisa dibuka tutup karena sebagai akses kapal-kapal melintas," jelasnya.
Seiring dengan berkurangnya kapal-kapal yang melintasi Sungai Cimanuk, maka jembatan tersebut mengalami beberapa perubahan. Dan hingga sekarang, jembatan itu sekarang lebih dikenal dengan sebutan Jembatan Cimanuk, dengan bentuknya yang sekarang.
"Selain menjadi sarana penyeberangan, Jembatan Cimanuk ini juga menjadi ikon dari Kabupaten Indramayu," tuturnya. (*)
Pewarta | : Selamet Hidayat (MG-417) |
Editor | : Deasy Mayasari |