TIMES JABAR, JAKARTA – Diskursus publik mengenai sistem proporsional tertutup yang diduga akan menjadi putusan MK terus menuai pro dan kontra. Sebanyak 8 fraksi di DPR bahkan sudah tegas menolak sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024.
Pengamat hukum, Andri W Kusuma menilai, terkait gugatan terhadap sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU) maupun partai politik sebaiknya mengabaikan saja keputusan MK, jika tenyata mereka membuat keputusan yang melebihi kewenangan dan tidak berlandaskan kepada konstitusi.
Andri mengatakan MK seharusnya berjalan sesuai dengan kewenangannya. Padahal, lanjut Andri, kewenangan MK dibatasi undang-undang dan konstitusi.
"Gugatan ke MK itu harus ada dasar konstitusinya. Jika tidak ada dasar konstitusinya maka MK tidak boleh menerima apalagi membuat keputusan terhadapnya,” papar Andri kepada wartawan, Kamis (1/6/23)
DIa mencontohkan tidak boleh MK memutuskan masa jabatan komisioner KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Masa jabatan komisioner KPK tidak diatur dalam konstitusi. MK harusnya hanya boleh memutuskan apakah sebuah ketentuan perundang-undangan bertentangan dengan UUD atau tidak.
Begitu juga dengan masalah atau gugatan terhadap sistem pemilu poporsional terbuka. Menurut Andri, tidak boleh MK memutuskan bahwa sistem pemilu harus menggunakan sistem proporsional tertutup, MK harus mengembalikan ke DPR sebagai pembuat UU.
“Sekali lagi, MK hanya boleh memutuskan apakah sebuah ketentuan perundang-undangan bertentangan dengan konstitusi atau tidak,” papar Andri.
Dalam UUD, kata Andri, tidak ada ketentuan yang tegas menyebutkan bahwa pemilu harus menggunakan sistem tertutup atau nomor urut.
“Jadi MK itu kewenangannya ada batasannya, yaitu sesuatu yang diatur dan/atau dinyatakan eksplisit oleh konstitusi. Jika tidak ada maka MK tidak punya kewenangan memutuskan,” ungkap dia.
Andri kembali mencontohkan seperti keputusan pengadilan di luar kewenangannya seperti yang terjadi di PN Jakarta Pusat yang pada intinya menunda pemilu, yang juga sesat.
“Sebab kalaupun tetap dipaksakan atau misalnya inkracht , keputusan ini tidak dapat dilaksanakan selain bertentangan dengan konstitusi juga Pengadilan Negeri tidak punya “peralatan” untuk melakukan eksekusi terhadap sebuah keputusan TUN, yang punya ya hanya PTUN,” ungkap dia.
Jika MK bertindak di luar kewenangannya, yaitu memutus sesuatu yang tidak didasarkan pada konstitusi atau tidak ada landasan konstitusinya, menurut Andri, tidak salah jika penyelenggara pemilu (KPU) mengabaikan keputusannya.
"Kita tentu menghormati MK sebagai sebuah lembaga atau mahkmah akan tetapi patut juga diingat orang-orang khususnya hakim-hakim di MK itu bukanlah malaikat, Bahkan kita dapat meneliti rekam jejak mereka semua, Kedua, karena sudah semestinya MK bergerak dalam koridor konstitusi,” kata Andri.
Diingatkan Andri, sebaiknya MK menyatakan tidak dapat menerima gugatan tsb, dan menyerahkan kepada pembuat UU- open legal policy- dan/ atau dapat juga mengambil alih pertimbangan dan putusan MK terdahulu mengenai sistem pemilu.
“Ke depannya saya menyarankan agar dilakukan revisi terhadap UU yang mengatur MK, terutama mengenai kompetensinya, dan sekaligus mempertegas batasan batasan-batasan gugatan mana saja yang boleh di sidangkan oleh MK, juga tentu syarat dan tidak tata cara atau mekanisme perekrutan hakim MK,” kata Andri.
Sebelumnya, delapan fraksi di DPR RI minus Fraksi PDI Perjuangan menyatakan dengan tegas penolakan atas bocornya putusan MK terkait gugatan sistem proporsional terbuka.
Pada Selasa (30/5/23), Para pimpinan Fraksi menggelar konferensi pers di Senayan, hadir juga Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung. Tampak Hadir Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakir, Ketua Fraksi NasDem Robert Rouw, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, Ketua Fraksi PPP Amir Uskara, Sekretaris Fraksi PKB Fathan Subhi, Anggota Fraksi Gerindra Habiburrokhman serta Ketua Fraksi PAN Saleh Daulay. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: MK Dinilai Tak Punya Kewenangan untuk Tetapkan Sistem Pemilu Indonesia
Pewarta | : Rafyq Panjaitan |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |