TIMES JABAR, CIANJUR – Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Cianjur mengunjungi situs sejarah Bumi Ageung, di Jalan Moch. Ali, Nomor 64, Kelurahan Solokpandan, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (5/9/2024).
Ketua MGMP Sejarah Cianjur, Rani Puspita mengatakan, bahwa kegiatan kunjungan ke Bumi Ageung yang diselenggarakan merupakan momen penting pembelajaran di luar kelas dalam menggali sejarah lokal.
"Kami menekankan pentingnya pembelajaran di luar kelas ini sebagai langkah konkret bagi para guru sejarah di Cianjur yang nantinya diajarkan juga ke peserta didiknya," kata Rani dalam keterangan tertulis yang diterima TIMES Indonesia.
Pembelajaran di luar kelas, kata Rani, dinilai mampu memperkaya pengalaman dan wawasan, khususnya dalam pelajaran sejarah. Dengan mengunjungi Bumi Ageung, dapat lebih memahami konteks sejarah secara langsung serta memperkuat keterkaitan antara teori dan realitas di lapangan.
"Kegiatan ini juga nantinya dapat meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah, karena bisa merasakan dan melihat langsung benda-benda atau tempat-tempat bersejarah yang relevan dengan materi pelajaran. Pendekatan ini dapat membantu memperdalam pemahaman dan memfasilitasi pembelajaran yang lebih menyenangkan," ujarnya.
Di Cianjur sendiri, Bumi Ageung merupakan salah satu tempat penting yang memiliki nilai sejarah, dan kunjungan ini menunjukkan komitmen pihaknya dalam hal ini MGMP Sejarah Cianjur guna mempromosikan pembelajaran yang lebih interaktif dan kontekstual.
Pengajar di SMAN 1 Sukanagara ini menerangkan, bahwa Bumi Ageung sebagai salah satu situs bersejarah di Cianjur, bukan hanya sekadar bangunan biasa, tetapi juga menyimpan banyak sejarah tentang perjuangan bangsa terutama pada masa kolonial.
Rani juga menyampaikan bahwa mengenang masa lalu di tempat-tempat bersejarah seperti Bumi Ageung dapat memperkuat pemahaman dan kesadaran akan perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan bangsa.
"Selama kunjungan tersebut, guru sejarah menunjukkan antusiasme tinggi dengan mendengarkan secara seksama setiap penjelasan tentang sejarah Bumi Ageung yang berperan penting dalam dinamika sejarah di Cianjur serta merupakan rumah Bupati ke-10, juga menjadi saksi perjuangan Tjitjih Wiarsih sebagai local hero's dan dapat menjadi sumber sejarah yang kaya mengenai Pemerintahan Cianjur pada masa lampau sehingga perlu terus dilestarikan dan dijaga keberadaannya," tuturnya.
Sementara itu, Rachmat Fajar sekaligus generasi kelima Raden Aria Adipati Prawiradiredja II menjelaskan, Bumi Ageung Cikidang memiliki peranan besar dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, salah satunya ketika masa pendudukan Jepang. Di rumah milik Bupati Cianjur ke-10 ini, pertemuan para pejuang kemerdekaan dilakukan.
"Termasuk tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) yang terbentuk berdasarkan persetujuan dari Gunseikan yaitu kepala pemerintahan militer Jepang saat itu sempat menjadikan Bumi Ageung sebagai basis pergerakan," terangnya.
Dikatakan Fajar, pertemuan yang dilakukan sekitar 1943-1945 yang dipimpin oleh Gatot Mangkoepraja (pahlawan nasional) itu juga dihadiri Raden Ayu Tjitjih Wiarsih anak dari Raden Aria Adipati Prawiradiredja II selaku pemilik rumah yang juga menjadi tokoh perjuangan Cianjur kala itu. "Iya sempat jadi tempat pertemuan tentara PETA," ungkapnya.
Pasca kemerdekaan, antara 1946-1948, terang Fajar, Bumi Ageung menjadi sasaran mortir lantaran masih dianggap sebagai objek vital oleh bangsa penjajah. Situasi yang berbahaya itu memaksa keluarga besar pemilik rumah, terutama Tjitjih Wiarsih memutuskan untuk mengungsi sementara waktu.
"Semua anggota keluarga terpencar mengungsi ke sejumlah daerah, di antaranya pergi ke Kuningan dan sebagian lagi ke daerah Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur. Kondisinya saat itu jadi sasaran mortir, tapi tidak ada yang sampai kena rumah. Mortir berjatuhan di halaman depan dan pabrik beras di samping rumah," jelasnya.
Fajar kembali menuturkan, ketika Bumi Ageung Cikidang ditinggalkan, sempat bergantian diduduki dan dijadikan markas oleh pasukan Jepang dan Belanda. "Dari keterangan orang tua kala itu, di teras rumah juga sempat terparkir mobil panser," sambungnya.
Menurutnya, selama itu pula banyak bagian dan isi rumah yang hilang. Bahkan 70 persen barang-barang hilang, hanya 30 persennya saja yang diselamatkan oleh tetangga sekitar di rumahnya.
"Barang-barang itu kemudian diserahkan pada keluarga ketika kembali berkumpul di Bumi Ageung setelah keadaan dinilai kembali aman, dua tahun kemudian tepatnya pada tahun 1948. Ada beberapa yang tersisa, seperti lukisan, lemari, dan beberapa barang lainnya. Tapi kebanyakan sudah tidak ada," katanya.
Bersamaan dengan momentum itu, pada 9 Agustus 1949, di Cianjur terjadi genjatan senjata dan penyerahan kekuasaan dari pihak militer Belanda pada Tentara Republik. Bumi Ageung menjadi saksi bisu peristiwa penyerahan kekuasaan tersebut. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kunjungi Bumi Ageung, MGMP Sejarah Cianjur Sebut Pentingnya Pembelajaran di Luar Kelas
Pewarta | : Wandi Ruswannur |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |