https://jabar.times.co.id/
Berita

Dialog Nasional Kesiapan Indonesia Menghadapi Gempa Bumi 

Kamis, 01 Desember 2022 - 21:18
Dialog Nasional Kesiapan Indonesia Menghadapi Gempa Bumi  Ahli Vulkanologi, Dr. Surono menjadi narasumber pada Dialog Nasional dengan tema ''Kesiapan Pembangunan menghadapi Gempa Bumi''. (Foto: tangkapan layar youtube)

TIMES JABAR, BANDUNG – Musibah gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat tentunya harus menjadi pembelajaran. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia tinggal di daerah yang rawan gempa bumi. Untuk itu, perlu kesiapan dari berbagai sektor sebagai upaya antisipasi dan penanggulangan bencana yang berkelanjutan. Hal tersebut mengemuka dalam Dialog Nasional secara online dengan tema "Kesiapan Pembangunan menghadapi Gempa Bumi", Kamis (1/12). 

Pada acara yang diselenggarakan Lembaga Kajian NawaCita dan Dewan Geospasial Indonesia tersebut hadir beberapa narasumber ahli. Narasumber pertama, ahli Vulkanologi, Dr. Surono menjelaskan, berdasarkan tatanan teknonik, Indonesia merupakan negara yang kaya akan logam dan non logam, minyak bumi, gas bumi dan sebagainya. Namun, berisiko juga mengalami gempa bumi, letusan gunung api, tsunami dan pergerakan tanah. 

Menurut Mbah Rono, sapaan akrab pakar Gunung Berapi ini, daerah rawan gempa bumi umumnya berada di wilayah yang subur. Berdasarkan data BNPB, sekitar 148 juta warga Indonesia tinggal di kawasan rawan gempa bumi. Sekitar 4 juta orang tinggal di daerah rawan gunung api. Kemudian, sekitar 40 juta lebih, tinggal di kawasan rawan pergerakan tanah.

Surono.jpgAhli Vulkanologi, Dr. Surono menjadi narasumber pada Dialog Nasional dengan tema "Kesiapan Pembangunan menghadapi Gempa Bumi". (Foto: tangkapan layar youtube)

Berdasarkan data BNPB juga, lanjutnya, bencana yang paling banyak menimbulkan banyak korban adalah gempa bumi dan tsunami. Setiap tahun, kerugian yang ditimbulkan dari bencana gempa bumi ini begitu besar. Sebagai contoh, kerugian akibat gempa bumi di NTB dan Sulawesi Tengah mencapai 30,9 triliun.

“Kadang kita tak memasukkan dalam catatan sebagai warning bahwa gempa bumi sering memicu terjadinya gerakan tanah atau tanah longsor. Misalnya, pada 2009 di Sumatera Barat terjadi gempa bumi. Ada sekitar 300 orang tertimbun tanah longsor. Ada ketidaksiapan kita, kegagapan kita menghadapi bencana yang tiba-tiba datang,” jelasnya.

Mbah Rono memiliki peta-peta rawan bencana, gempa bumi, pergerakan tanah. Bahkan, pemerintah pernah meminta mengenai sesar-sesar aktif di Indonesia.

“Lebih khusus lagi sesar-sesar aktif di pulau Jawa, dimana separuh penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Saya dulu menyelesaikan peta-peta rawan bencana gempa bumi, gerakan tanah dan letusan gunung api. Saya berharap saat itu bahwa peta-peta tersebut digunakan oleh pemerintah daerah dalam menata ruang dan wilayahnya. Bukan hanya berbasis ekonomi, tapi juga berbasis mitigasi bencana agar masyarakat sejahtera, aman dan terasa terlindungi dari ancaman bahaya,” paparnya.

Ia juga menegaskan bahwa gempa bumi tidak bisa ditolak atau merekayasa apapun bila terjadi tanah longsor dan letusan gunung api. “Yang bisa kita lakukan adalah melakukan adaptasi dan mitigasi agar kita bisa hidup harmoni dengan bumi,” ucapnya.

Menurutnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah bagaimana menggunakan iptek dalam mitigasi  supaya harmoni antara manusia dan alam sebagai dasar dalam pembangunan berkelanjutan. Di antaranya dengan peringatan dini dan pemantauan.

“Peringatan dini dengan selang waktu antara kejadian alam yang destruktif dengan waktu yang dibutuhkan orang untuk mengungsi. Iptek dapat menyediakan golden time yang bisa dilakukan dengan baik,” paparnya.

Sementara itu, Bambang Munadjat, Pengarah BNPB menjelaskan bahwa terjadinya bencana alam tidak hanya memerhatikan keselamatan, tapi juga bagaimana penghidupan dan keberlanjutannya.

“Jadi kehidupan dan penghidupan tak bisa dipisahkan, supaya kita juga lebih baik dalam mengelola pemulihan yang berkelanjutan,” jelasnya.

Hal tersebut menjadi acuan bersama dan sangat sinkron dengan program yang dicanangkan dalam Nawacita. Sehingga, pengelolaan bencana jadi sangat penting menjadi acuan dari setiap pembangunan dan kesiapan dalam pembangunan itu sendiri.

“Kita perhatikan, dampak bencana pada saat bersamaan tidak hanya ada longsor, tapi juga dampak sosial, masalah kesehatan, dan lainnya,” paparnya.

Irwan-Meliano.jpgDr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjadi narasumber pada Dialog Nasional dengan tema "Kesiapan Pembangunan menghadapi Gempa Bumi". (Foto: tangkapan layar youtube)

 Sementara itu, Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, menegaskan bahwa kita harus belajar dari gempa di Cianjur. Sebelumnya, terjadi tsunami di Aceh pada 2004, gempa di Yogyakarta 2006, gempa di Bengkulu 2007, di Padang 2009, pada 2010 gempa di Mentawai, lalu Lombok dan Palu pada 2018, gempa di Ambon 2019 dan lain-lain.

“Seolah kita tak berhasil belajar secara sepenuhnya. Gempa di Cianjur menjadi bahan renungan bersama,” ulasnya.

Ia menyimpulkan, pentingnya meningkatkan literasi masyarakat mengenai kebencanaan. “Pengetahuan masyarakat akan bencana begitu rendah. Mereka takt ahu wilayahnya berpotensi bencana. Justru banyak hoaks yang menyebar soal bencana,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, perlu upaya perlindungan bagi masyarakat. “Salah satu persoalan paling serius, banyak sekali bangunan yang rusak karena batu bata yang tidak diperkuat. Masyarakat yang tinggal di daerah potensi bencana tak paham membangun rumah yang baik,” ungkapnya.

Ia juga mengingatkan mengnai peraturan tata guna lahan atau zonasi. “Gempa terjadi di wilayah dengan penduduk yang padat, tidak mengerti mengenai zonasi, mana daerah yang boleh dan tak boleh didirikan bangunan. Atau, daerah yang boleh dibangun dengan catatan. Sehingga penduduk terus berkembang dan bencana menimbulkan dampak yang dahsyat,” ujarnya.

Narasumber berikutnya, Ir. Puguh Iryantoro, LKN-KJRB menjelaskan bahwa kita harus mengambil pelajaran dan melakukan inovasi yang terus disempurnakan. “Yang jelas, ada pola-pola yang berbeda antara gempa di Indonesia dengan negara lain. Sehingga, kalau kita memiliki teknologi yang dikembangkan dengan data-data empiris, hasilnya akan sesuai untuk diterapkan di Inddonesia.

Sementara itu, Drs. Bintang Susmanto MBA, dari Irtama BNPB menjelaskan, Indonesia belum terlalu concern terhadap penanggulangan bencana.

“Setelah kejadian tsunami Aceh, kita aware. Kita anggap wake up call untuk lebih memberi perhatian pada penanggulangan bencana. Ini adalah urusan bersama, melibatkan seluruh unsur pentahelix, dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi dan media massa,” paparnya. (*)

Pewarta : Hilman Hilmansyah (MG-312)
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.