TIMES JABAR, BANDUNG – Polemik pengelolaan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) kembali mencuat ke permukaan setelah terjadi perselisihan terkait keabsahan akta pengurus yayasan yang menaunginya.
Konflik ini tidak hanya memunculkan perdebatan di ranah hukum, tetapi juga memantik kekhawatiran akan nasib ratusan satwa yang bergantung pada perawatan intensif setiap harinya.
Dalam konferensi pers yang digelar di Bandung, kuasa hukum Yayasan Taman Sari Margasatwa, Juke Bongso dari Pasopati Lawyer, menegaskan bahwa tujuan utama pihaknya bukan sekadar memenangkan sengketa hukum, tetapi memastikan keselamatan dan kesejahteraan satwa di Bandung Zoo tersebut.
“Harapan kami, konferensi pers hari ini dapat menjernihkan suasana dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya, Senin (11/8/2025).
Juke menjelaskan, keributan yang terjadi beberapa waktu lalu bermula dari aksi yang dilakukan pada pukul enam pagi, bertepatan dengan jadwal pemberian makan bagi anak-anak satwa.
“Bayi-bayi satwa itu terancam mati jika tidak segera diberi makan. Keselamatan satwa adalah prioritas utama karyawan,” tegasnya.
Ia menambahkan, para pekerja di yayasan menunjukkan komitmen tinggi dengan tetap menjaga dan memberi makan satwa, meski dalam situasi penuh ketidakpastian.
Biaya Pemeliharaan yang Tidak Kecil
Salah satu poin penting yang disorot Juke adalah biaya operasional yang dibutuhkan untuk merawat satwa. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, rata-rata pengeluaran untuk pakan satwa mencapai Rp400 juta per bulan.
“Kalau kebun binatang ini terus ditutup, tidak ada pemasukan. Dari mana biaya sebesar itu akan didapat?” ujarnya retoris.
Juke mendorong pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Bandung, untuk mempertimbangkan pengelolaan sementara oleh yayasan yang berdasarkan akta tahun 2024 hingga proses hukum selesai.
“Kami punya izin yang sah. Biarkan pengelolaan kembali ke kami sementara sengketa ini berjalan. Setelah ada putusan, kami akan mematuhinya,” kata Juke.
Persoalan Legalitas Akta
Inti dari sengketa ini adalah saling klaim terkait keabsahan akta yayasan. Menurut Juke, pihaknya memegang akta terakhir yang terbit pada 2024 dan mengacu pada sejarah pengelolaan sejak 1933.
Namun, pada 29 Juli 2025, muncul akta baru yang disebutnya tidak sah. “Logikanya, yang bisa mengubah akta adalah pembina yang tercantum di akta terakhir. Faktanya, pembina 2024 tidak pernah mengadakan rapat untuk menerbitkan akta 2025,” jelasnya.
Atas dugaan pelanggaran tersebut, pihaknya telah melaporkan adanya indikasi pemalsuan dokumen ke aparat penegak hukum. “Biarkan polisi menguji kebenarannya. Kami berharap aparat bersikap adil dan melihat persoalan ini secara objektif,” tambahnya.
Bagi Juke, masalah hukum ini tidak boleh mengorbankan satwa, apalagi yang memerlukan perawatan khusus. Ia mengingatkan bahwa penundaan penyelesaian akan berdampak langsung pada kesejahteraan satwa. “Anak-anak satwa yang memerlukan perawatan intensif bisa menjadi korban jika situasi ini berlarut-larut,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin menyeret pihak-pihak seperti Pemerintah Kota atau Pemerintah Provinsi ke dalam pusaran konflik hukum. “Ini murni persoalan hukum. Biarlah pengadilan yang memutuskan. Tetapi sumber pembiayaan dan keselamatan satwa harus menjadi prioritas bersama,” tegas Juke.
Menjaga Netralitas di Tengah Saling Klaim
Menanggapi adanya saling klaim dan tudingan dari pihak lain, Juke memilih untuk tidak mengomentari kasus-kasus hukum di luar lingkup Yayasan Taman Sari Margasatwa. “Konsentrasi kami adalah memastikan satwa tetap terawat. Urusan hukum pihak lain, kami tidak mencampurinya,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa sengketa semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. “Sudah dua kali kejadian seperti ini. Kami ingin memastikan hal yang sama tidak terulang kembali,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Juke mengajak semua pihak untuk melihat persoalan ini secara proporsional. Baginya, penyelesaian cepat adalah kunci untuk mencegah kerugian lebih besar, baik bagi pengelola maupun bagi satwa yang menjadi daya tarik utama Bandung Zoo.
“Kalau terlalu lama, yang menjadi korban adalah satwa. Kami berharap masalah ini segera ditanggulangi,” katanya.
Dengan sejarah pengelolaan selama 92 tahun, Yayasan Taman Sari Margasatwa merasa memiliki rekam jejak dan kapasitas untuk tetap menjalankan fungsi pengelolaan kebun binatang.
Sengketa hukum yang kini berlangsung diharapkan dapat diselesaikan melalui jalur resmi tanpa mengorbankan pihak yang tidak bersalah—dalam hal ini, ratusan satwa yang ada di Bandung Zoo.
Konflik ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan fasilitas publik seperti kebun binatang bukan sekadar soal administrasi atau kepemilikan legal. Ada nyawa-nyawa yang bergantung pada stabilitas pengelolaan, profesionalisme tenaga perawat, serta dukungan finansial yang memadai.
Selama proses hukum berjalan, keselamatan satwa harus menjadi prioritas, sementara pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat berperan aktif menjaga keberlangsungan layanan publik yang vital ini. (*)
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Ronny Wicaksono |