TIMES JABAR, TANGERANG – Hari Guru Nasional selalu menghadirkan ruang kontemplasi bagi siapa saja yang mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan. Di sekolah dasar, tempat saya mengajar, perubahan zaman terasa begitu dekat: cara anak belajar bergeser, ritme interaksi berubah, dan dunia digital meresap masuk sejak pagi hingga pulang sekolah. Namun di tengah derasnya perubahan itu, ada satu hal yang tidak boleh hilang: hati seorang guru.
Teknologi, kurikulum, dan metode pembelajaran silih berganti. Kita kini berhadapan dengan generasi yang jauh lebih mahir menggunakan gawai daripada orang dewasa pada usia yang sama dulu. Mereka cepat memahami fitur, cekatan menavigasi informasi, dan secara naluriah akrab dengan dunia digital. Tetapi meningkatnya kecerdasan digital tidak serta-merta diiringi kematangan emosional. Mereka lebih mudah terdistraksi, lebih sensitif terhadap tekanan, dan lebih memerlukan pendampingan emosional.
Di sinilah sentuhan guru menjadi penentu. Layar digital tidak mampu membaca mata anak yang sedang kebingungan. Aplikasi pembelajaran tidak bisa memahami hati yang sedang terluka atau cemas. Dan tidak ada kecerdasan buatan yang dapat menggantikan pelukan tulus ketika seorang murid merasa gagal. Pendidikan bukan semata proses berpikir; ia adalah proses memanusiakan manusia.
Anak-anak masa kini tumbuh dengan kreativitas yang luar biasa. Mereka ekspresif dan cepat menangkap konsep baru. Tetapi di balik kecerdasan itu, mereka rapuh. Kerapuhan yang muncul dari tekanan sosial, aliran informasi yang tak terbendung, hingga tuntutan berprestasi yang kadang tak sesuai usia. Guru hadir bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai jangkar emosional. Ketika guru kehilangan jati diri, anak-anak kehilangan pegangan.
Mengajar dengan hati bukan sekadar slogan yang indah diucapkan. Ia adalah keterampilan yang lahir dari ketulusan, kesabaran, dan pilihan untuk benar-benar melihat anak sebagai manusia yang sedang tumbuh.
Mengajar dengan hati berarti menaruh empati sebelum memberi penilaian; memahami bahwa setiap anak membawa latar ceritanya masing-masing ada yang datang dengan tawa, ada pula yang menyembunyikan luka-luka kecil yang tidak kasat mata.
Guru yang mengajar dengan hati paham bahwa keteladanan lebih kuat daripada seribu nasihat. Anak lebih cepat meniru karakter baik yang mereka lihat, bukan materi moral yang mereka dengar. Keadilan guru melahirkan rasa hormat. Konsistensi guru menumbuhkan rasa aman. Dan kedekatan emosional adalah pintu utama menuju pembelajaran yang bermakna. Terkadang, hal sederhana seperti senyuman, tepukan lembut di bahu, atau sapaan penuh perhatian sudah cukup untuk membangunkan semangat belajar yang padam.
Dalam dinamika pendidikan hari ini, guru sering disibukkan oleh perubahan kurikulum, administrasi yang menumpuk, hingga tuntutan yang terus bertambah. Namun di balik tumpukan itu, jati diri guru tidak pernah ditentukan oleh seberapa banyak formulir yang diselesaikan, melainkan oleh seberapa dalam sentuhan kebaikan yang tertanam di hati anak-anak. Guru tidak perlu menjadi sempurna. Yang dibutuhkan hanya satu: komitmen untuk terus belajar dan menjaga kehangatan dalam proses mengajar.
Reformasi pendidikan kerap dibicarakan dalam skala besar: sistem, regulasi, dan arah kebijakan. Namun perubahan yang sesungguhnya selalu berakar dari ruang kelas ruang kecil tempat guru dan murid bertemu setiap hari.
Ketika guru tersenyum di pagi hari, suasana belajar berubah. Ketika guru memperlakukan semua anak dengan adil, integritas tumbuh. Ketika guru percaya pada kemampuan siswanya, rasa percaya diri mereka mekar. Dari ruang kelas itulah masa depan bangsa dibangun, satu karakter demi satu karakter.
Hari Guru Nasional bukan hanya seremoni ucapan terima kasih. Ia juga ajakan untuk kembali meneguhkan identitas guru sebagai pendidik yang mengajar dengan hati. Ilmu dapat dicari di mana saja, tetapi nilai dan karakter hanya dapat ditanamkan oleh guru yang tulus, sabar, dan penuh kasih. Dalam dunia yang bergerak cepat, hati seorang guru adalah jangkar yang membuat anak-anak tetap teguh berjalan.
***
*) Oleh : Umi Haniah, S.Pd., M.Pd, Guru SDN Sudimara 5 Ciledug, Kota Tangerang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |