TIMES JABAR, JAKARTA – Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, Presiden Prabowo resmi meluncurkan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP) pada 21 Juli 2025. Sejumlah kementerian langsung bergerak cepat melakukan harmonisasi kebijakan.
Kementerian Desa menyusun Peraturan Menteri tentang mekanisme pendanaan, Kementerian Keuangan menyiapkan PMK untuk mengatur arus dana, sementara Kementerian Koperasi dan UKM menyusun strategi pengembangannya.
Langkah ini terlihat progresif. Namun, sebelum berbicara jauh tentang teknis kebijakan, perlu ditegaskan kembali fondasi utama koperasi. Ia lahir dari kemandirian, partisipasi, dan kepercayaan antaranggota.
Koperasi bukan sekadar badan hukum ekonomi, tetapi manifestasi dari modal sosial kepercayaan, solidaritas, dan tanggung jawab pribadi di antara masyarakat. Tanpa ketiganya, koperasi hanya akan menjadi papan nama tanpa jiwa.
Sayangnya, pendekatan pembentukan KDKMP bersifat top-down. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah Inpres diterbitkan, 80.000 koperasi baru resmi terbentuk. Sejauh mana masyarakat benar-benar terlibat dalam proses tersebut?
Mantan Kepala Bappenas Andrinof A. Chaniago bahkan mengingatkan bahwa pendekatan seperti ini rawan manipulasi data dan lemahnya konsolidasi sosial di tingkat lokal.
Jika koperasi dibentuk sebatas formalitas administratif tanpa dialog substantif di masyarakat, maka yang muncul hanyalah lembaga legal tanpa roh partisipatif. Padahal, koperasi yang sejati lahir organik dari inisiatif masyarakat sendiri.
Kebijakan KDKMP tetap menyimpan potensi positif: sebagai stimulus untuk membangkitkan kesadaran ekonomi kolektif masyarakat desa. Tantangannya kini adalah bagaimana menjaga mindset masyarakat agar memahami bahwa koperasi bukan proyek bantuan, melainkan instrumen kemandirian.
Inspirasi dari luar bisa menjadi cermin. Korea Selatan, yang kini berstatus negara maju, pernah memulai dari titik yang sama kemiskinan ekstrem di tahun 1970-an. Pemerintahnya meluncurkan kebijakan Semaul Undong atau Gerakan Desa Baru, juga dengan pendekatan top-down. Namun bedanya, mereka memahami batas intervensi.
Pada tahap awal (1971–1973), pemerintah hanya memberikan bantuan material kepada setiap desa tanpa biaya kontraktor. Penggunaan material diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Hasilnya luar biasa. Menurut Asian Development Bank, lebih dari 21.600 km jalan desa terbangun, ribuan lumbung didirikan, dan puluhan juta rumah diperbaiki melalui gotong royong.
Intinya, negara menciptakan kondisi, masyarakatlah yang bergerak. Dari sana tumbuh rasa kepemilikan, kebanggaan, dan solidaritas sosial modal utama kemajuan.
Pelajaran ini relevan bagi KDKMP. Keberhasilan kebijakan tidak semata ditentukan oleh jumlah koperasi yang terbentuk atau dana yang tersalurkan, tetapi oleh konsolidasi sosial di dalamnya.
Apakah masyarakat memahami dana KDKMP sebagai stimulus produktif, atau sekadar bantuan pemerintah yang bisa dihabiskan tanpa tanggung jawab? Di sinilah ujian mental kolektif kita.
Selain modal sosial, aspek fiskal KDKMP juga perlu dikritisi. Salah satu aturan yang menarik adalah jaminan tunggakan kredit koperasi yang dapat dialihkan melalui APBDes, maksimal 30% per tahun.
Artinya, jika koperasi gagal bayar, maka dana desa yang menanggung. Risiko ini bisa menekan ruang fiskal desa, yang sejatinya digunakan untuk kebutuhan dasar masyarakat.
Anggaran desa memang kecil dibandingkan APBN, namun dampaknya paling langsung dirasakan masyarakat. Bila sebagian besar terserap untuk menutup gagal bayar KDKMP, maka belanja produktif desa seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan akan terancam menyempit.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah penyaluran dana melalui Himbara (bank-bank pemerintah). Jika uji kelayakan longgar, serapan tinggi, tetapi risiko gagal bayar besar.
Sebaliknya, jika uji ketat, serapan rendah dan menimbulkan Sisa Anggaran Lebih (SAL). Artinya, kebijakan ini berpotensi terjebak dalam dilema klasik: antara mengejar serapan atau menjaga kualitas.
Maka perlu keseimbangan: jangan buru-buru mengejar angka serapan, tetapi beri waktu bagi masyarakat untuk mematangkan rencana bisnis koperasi secara organik. Koperasi bukan proyek satu tahun, melainkan proses pembelajaran kolektif jangka panjang.
Terlepas dari berbagai catatan kritis, visi KDKMP sesungguhnya mulia: memperkuat ekonomi desa yang selama ini stagnan meski sudah satu dekade didukung Dana Desa dan asas subsidiaritas. Desa tetap membutuhkan motor penggerak baru, dan koperasi bisa menjadi jawabannya asal tidak dijadikan alat politik atau proyek anggaran semata.
Kunci keberhasilan KDKMP terletak pada komunikasi kebijakan. Pemerintah tidak cukup hanya menggelar bimbingan teknis atau panduan formal, tetapi harus membangun transformasi nilai.
Pembuat kebijakan, pelaksana, dan masyarakat penerima perlu memiliki persepsi yang sama tentang tujuan besar koperasi. Kemandirian ekonomi berbasis gotong royong.
Anggaran besar bukan indikator keberhasilan. Serapan 240 triliun rupiah untuk KDKMP pada tahun anggaran 2026 tak akan berarti jika tak diiringi dengan perubahan mentalitas sosial. Pendampingan mesti berorientasi pada pemberdayaan, bukan sekadar administrasi.
Koperasi bukanlah proyek ekonomi, tetapi proyek peradaban sosial. Ia mengajarkan kejujuran, solidaritas, dan kerja sama. Tugas negara adalah menumbuhkan ekosistemnya, bukan mendikte bentuknya. KDKMP akan berhasil bila masyarakat merasa memilikinya dan gagal jika hanya dianggap sebagai proyek negara yang bisa menunggu dana cair.
***
*) Oleh : M. Hafiz Al Habsy, Co-Founder Hatta Aksara Project atau Yayasan Proklamator Bung Hatta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |