TIMES JABAR, JAKARTA – Di lorong-lorong pesantren, di antara deretan rak kayu dan lembaran kitab tanpa harakat, tersimpan denyut intelektual Islam Nusantara. Kitab kuning, dengan aksara Arab gundulnya, bukan sekadar teks. Ia adalah jendela sejarah, cermin pemikiran, dan samudera pengetahuan yang mengalir dari abad-abad silam.
Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) lahir dari denyut itu. Ia bukan hanya lomba, tapi juga panggung kebudayaan dan pendulum peradaban. Ia tempat santri diuji; tak sekadar tentang cara membaca, melainkan juga mengenai teknik menafsirkan, menimbang, dan menyampaikan makna. MQK adalah pertemuan antara aksara yang diam dengan suara santri yang menghidupkannya kembali.
Tahun ini MQK sungguh istimewa, karena untuk pertama kalinya digelar dalam skala internasional. Tema yang diangkat pun sangat kontekstual; “Dari Pesantren untuk Dunia: Merawat Lingkungan dan Menebar Perdamaian dengan Kitab Turat.” Tema ini memesankan dua isu penting yang dewasa ini sedang melanda dunia, yakni soal lingkungan dan perdamaian.
Lingkungan dalam perspektif kitab-kitab pesantren, tak sekadar objek mati yang layak dieksploitasi, tapi juga harus dirawat dan dihormati. Dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyah karya Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M), disebutkan tentang pentingnya mengelola dan menjaga alam secara seimbang. Bahkan menyakiti hewan (ta’dzib al-hayawan) termasuk dalam perbuatan yang bertentangan dengan tujuan Islam.
Sementara perdamaian adalah visi besar agama dan kemanusiaan. Menurut Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693 M), perdamaian dan persaudaraan adalah inti ajaran Islam yang harus diwujudkan. Salah satu caranya melalui jalan tasawuf yang moderat. Hal senada juga disampaikan KH. Bisri Mustofa (w.1977 M) dalam kitab Ngudi Susilo, dimana akhlak karimah adalah cara untuk muwujudkan perdamaian dan kedamaian.
Sumber Pengetahuan dan Tantangan Era Digital
Bagi pesantren, kitab kuning ibarat sumur yang tak pernah kering. Ia menjadi fondasi intelektual sekaligus spiritual. Materinya sangat lengkap mulai dari akidah, fikih hingga tafsir. Dari bahasa, balaghah hingga tasawuf. Namun, dalam pandangan sebagian kalangan, kitab kuning sering dianggap usang, terlalu berat, atau tak relevan dengan tuntutan zaman.
Padahal, justru di dalam teks-teks itu tersimpan kearifan: tentang keseimbangan, tentang hidup sederhana, tentang bagaimana manusia menimbang hakikat dunia. Kitab kuning adalah pusaka yang menunggu disentuh kembali dengan kesungguhan, bukan sekadar nostalgia.
Dalam MQK, seorang santri berdiri di hadapan dewan juri, membuka kitab, lalu melafalkan baris demi baris dengan hati-hati. Tidak ada harakat yang menuntun, hanya ilmu nahwu, sharaf, dan rasa bahasa yang telah diasah bertahun-tahun. Dari situ, lahirlah penjelasan yang bukan hanya akademis, tetapi juga spiritual.
Inilah simfoni khas pesantren; literasi, analisis, dan komunikasi berpadu menjadi satu. MQK menegaskan bahwa pesantren tidak sekadar melahirkan pembaca, tetapi penafsir. Mereka yang mampu menghidupkan teks lama untuk zaman yang baru.
Namun, arus digitalisasi membawa gelombang yang tak bisa diabaikan. Budaya instan media sosial lebih memikat daripada lembaran kitab tebal. Informasi yang terfragmentasi sering dianggap cukup, padahal pesantren mengajarkan kesabaran membaca secara utuh. Era digital dengan kecerdasan buatannya, telah merubah kecenderungan santri dari penelusuran data secara mendalam menuju tradisi copas yang instan.
Tantangan lain adalah modernisasi kurikulum. Santri dituntut tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga memahami sains, teknologi, bahkan isu-isu global. Jika tidak, pesantren bisa terjebak dalam romantisme masa lalu. Pada saat yang sama, sains dan teknologi juga tidak boleh didewakan agar santri tidak tercerabut dari pesan-pesan mendalam kitab turats.
Menjaga Relevansi, Merajut Masa Depan
Meski demikian, kitab kuning tidak pernah benar-benar usang. Ia hanya menunggu generasi yang berani menafsirkan ulang. Digitalisasi kitab, pengajian daring, hingga aplikasi kajian klasik adalah tanda bahwa pesantren sedang beradaptasi.
Yang terpenting, adaptasi ini tidak berhenti pada bentuk, melainkan menjaga ruh metodologi dan kedalaman pemahaman.
MQK hadir sebagai simbol: bahwa tradisi bisa tetap hidup, meski zaman berubah. Bahwa teks klasik tidak membeku, tetapi selalu menunggu suara santri untuk kembali berbicara.
MQK mengingatkan kita, bahwa di tengah gegap gempita dunia digital, masih ada suara-suara yang sabar mengeja baris demi baris teks tua. Suara yang tidak terburu-buru, yang memahami bahwa kebijaksanaan lahir dari kedalaman, bukan dari kecepatan.
Selama kitab kuning masih dibaca, selama santri masih berdiri di hadapan juri dengan kitab di tangan, selama MQK masih digelar, tradisi intelektual pesantren akan terus terawat. Dan dari itu, lahirlah harmoni; antara masa lalu dan masa depan, antara teks dan konteks, antara pesantren dan peradaban. Indah bukan?
***
*) Oleh : Muhammad Ulinnuha, Dekan Fak. Ushuluddin dan Dakwah IIQ Jakarta, Dewan Hakim MQK.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Meneguhkan Peradaban dari Kitab Kuning
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |