https://jabar.times.co.id/
Opini

MBG Risiko yang Tidak Gratis

Kamis, 09 Oktober 2025 - 14:47
MBG Risiko yang Tidak Gratis Lulu Binti Nugroho, Dakwah dan Menulis.

TIMES JABAR, JAKARTA – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan publik. Namun kali ini bukan karena keberhasilannya memberi makan anak-anak sekolah, melainkan karena ribuan di antara mereka justru jatuh sakit. 

Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, hingga 21 September 2025, 6.452 siswa di berbagai daerah mengalami keracunan makanan MBG.

Alih-alih menumbuhkan rasa syukur, yang tumbuh adalah kekhawatiran. Para orang tua kini membekali anak mereka dengan kantong plastik bukan untuk menyimpan makanan, tetapi untuk membuang jatah makan siang yang seharusnya bergizi. Sebuah ironi yang menampar nalar publik: di negeri yang kaya sumber pangan, anak-anak justru terancam oleh makanan yang disiapkan negara.

Sejak awal, program MBG telah menimbulkan pro-kontra. Digagas pertama kali dalam masa kampanye Pilpres 2024, program ini dijanjikan sebagai solusi untuk mengatasi stunting dan memperbaiki gizi anak-anak Indonesia. 

Sejak implementasinya, berbagai persoalan bermunculan mulai dari penyusutan anggaran per porsi, lemahnya sistem pengawasan, hingga praktik kecurangan oknum di lapangan. Alhasil, yang seharusnya menjadi proyek kemanusiaan berubah menjadi proyek pencitraan yang terburu-buru dan tak siap dijalankan.

Kasus di Kota Bekasi menggambarkan betapa serius persoalan ini. Dinas Kesehatan setempat membenarkan adanya temuan ulat di makanan MBG dari salah satu sekolah. 

Kepala Dinkes, drh. Satia Sriwijayanti, menjelaskan bahwa ulat tersebut berasal dari sayuran mentah yang tidak dicuci sempurna bukan belatung akibat makanan basi. 

Pernyataan itu mungkin bermaksud menenangkan, tetapi justru menegaskan persoalan utama: standar kebersihan dan kualitas makanan diabaikan.

Ulat atau belatung, keduanya sama-sama simbol dari kelalaian. Dan ketika keracunan terjadi di banyak daerah dalam waktu berdekatan, kita tidak lagi bicara soal kesalahan teknis, melainkan kegagalan sistemik. 

Negara tidak bisa berdalih bahwa insiden ini sekadar kecelakaan. Program sebesar MBG seharusnya dijalankan dengan sistem kontrol seketat proyek infrastruktur, karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan anak-anak masa depan bangsa.

Persoalan gizi bukan semata urusan dapur sekolah, melainkan cermin dari cara negara memperlakukan warganya yang paling lemah. Jika negara benar-benar ingin memberantas stunting, maka akar masalahnya harus disentuh: kemiskinan struktural, ketimpangan distribusi pangan, dan lemahnya jaminan sosial keluarga. Makanan gratis hanyalah tambalan sementara, bukan solusi jangka panjang.

Selama masyarakat masih sulit mengakses bahan pangan berkualitas, dan harga kebutuhan pokok terus naik tanpa kendali, maka program MBG tak lebih dari panggung politik dengan kemasan sosial. 

Bahkan, efisiensi anggaran yang dilakukan demi menutupi biaya MBG justru mengorbankan pos lain yang lebih penting subsidi pangan, kesehatan ibu-anak, hingga program gizi masyarakat. Akhirnya, yang terjadi adalah paradoks: program gizi yang justru memperburuk gizi.

Sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Tak cukup dengan meminta maaf atau mengklaim perbaikan menu. Yang dibutuhkan adalah peninjauan total terhadap mekanisme Standard Operating Procedure (SOP) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Pemerintah juga harus melibatkan ahli gizi, akademisi, dan lembaga pengawasan independen dalam perancangan ulang program ini.

Lebih jauh dari itu, publik berhak menuntut transparansi: siapa penyedia makanan, bagaimana proses distribusinya, siapa yang mengawasi, dan berapa biaya yang dikeluarkan per anak? Tanpa kejelasan itu, MBG akan terus menjadi proyek gelap yang membahayakan publik, bukan memberdayakan rakyat.

Dalam pandangan Islam, tanggung jawab menyejahterakan rakyat berada di pundak negara sebagai ra’in pelindung umat. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. 

Bukan menyerahkannya kepada pihak ketiga atau swasta yang mengejar untung. Harta publik harus dikelola untuk kemaslahatan bersama, bukan dijadikan ladang proyek politik atau ajang tender keuntungan.

Setiap kepala keluarga memang wajib menafkahi keluarganya. Namun negara wajib memastikan adanya lapangan kerja, akses lahan produktif, dan sistem ekonomi yang adil agar rakyat bisa menunaikan kewajiban itu. 

Dengan demikian, stunting dapat diberantas dari akar bukan dengan memberi makanan sesaat, melainkan dengan menata sistem ekonomi yang berpihak pada manusia.

Program MBG bisa menjadi kebijakan yang bermakna jika dijalankan dengan niat tulus, tata kelola yang jujur, dan standar yang ketat. Namun selama ia dijadikan alat politik, selama pengawasan rapuh dan pelaksanaannya hanya dikejar seremonial, maka program ini akan terus melahirkan korban bukan manfaat.

Bangsa yang besar bukan yang mampu memberi makan gratis, tapi yang memastikan setiap warganya bisa makan dengan layak tanpa harus bergantung pada belas kasihan negara.

***

*) Oleh : Lulu Binti Nugroho, Dakwah dan Menulis.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.