TIMES JABAR, MAJALENGKA – Seratus hari pertama adalah etalase bagi sebuah pemerintahan baru-saat publik menanti bukan hanya simbol semangat, tetapi bukti konkret dari janji-janji kampanye. Di Majalengka, Bupati Eman Suherman dan Wakil Bupati Dena Muhamad Ramdhan menandai awal kepemimpinannya dengan serangkaian program yang memadukan narasi spiritual, teknokrasi, dan partisipasi masyarakat.
Dengan jargon yang khas seperti Ngabret (Ngajalur Buat Jalan Rakyat, Ekonomi dan Pariwisata) hingga Satset (Persalinan Tenang sampai dapat Akta), mereka menawarkan solusi cepat dan responsif atas problem klasik pemerintahan daerah.
Namun, di tengah gemuruh publikasi dan slogan yang mudah diingat, muncul pertanyaan penting: apakah semua ini sekadar branding politik, atau memang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat?
Evaluasi terhadap program 100 hari ini menjadi penting bukan untuk mencari-cari kekurangan, tetapi untuk memastikan bahwa kebijakan tidak berhenti di seremoni, melainkan bergerak menuju perubahan yang dirasakan rakyat. Sebab di balik setiap istilah populer, ada harapan rakyat yang menanti untuk dipenuhi.
Pilar Membangun Kolaborasi misalnya, mendorong sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Program seperti PJBI (Pembangunan Jalan Bersama Industri) yang digagas untuk menjawab tuntutan infrastruktur di tengah meningkatnya investasi. Namun, tanpa sistem koordinasi dan mekanisme evaluasi yang jelas, kolaborasi berisiko menjadi sekadar simbol, bukan solusi (Ansell & Gash, 2008).
Pilar Gerak Akhlak untuk Kebaikan menawarkan pendekatan spiritual dalam birokrasi. Melalui BERFAEDAH (pengurusan jenazah) dan Ngantor Ber-Duha (ibadah Dhuha di kantor), pemerintah ingin membangun kultur pelayanan yang beretika.
Namun sebagaimana dicatat Max Weber (2002), nilai religius dalam tata kelola pemerintahan harus dibarengi dengan profesionalisme, agar pelayanan publik tetap efisien dan meritokratis.
Pilar Bantu Solusi Rakyat menjadi yang paling padat isi. Di antaranya GASIK (startup lokal), MATA HATI (penyaluran tenaga kerja), SATSET (persalinan terintegrasi), SIMAMA (layanan perpajakan), hingga PEJANTAN KEREN (prioritas tenaga kerja lokal).
Meski terlihat progresif, efektivitas semua ini amat bergantung pada pemetaan kebutuhan, ekosistem data, dan keberlanjutan. Tanpa itu, program bisa saja mengesankan di awal, namun gagal memberi dampak jangka panjang (Audretsch, 2015).
Reformasi pelayanan diwujudkan dalam program NGALAYAN BAKTI, yang merespons keluhan masyarakat tentang layanan kesehatan. Di tengah tantangan distribusi tenaga medis dan fasilitas yang terbatas, efektivitas program ini hanya dapat diukur dari peningkatan akses, kualitas layanan, dan kepuasan publik—bukan sekadar dari narasi baik-baik (WHO, 2020).
Sementara itu, di pilar Solusi Cepat Lebih Baik, pemerintah merespons kondisi darurat seperti kebakaran sekolah lewat GERCEP, mempercepat pembangunan jalan lewat NGABRET, dan mendorong layanan kontrasepsi jangka panjang lewat MKJP.
Program SAVING AMAL berfokus pada validasi data sosial agar distribusi bantuan lebih akurat, dan POHON KAMI memperkuat identitas Majalengka sebagai kota hijau yang layak dikunjungi.
Ngabret membangun jalan, Satset melayani warga, BERFAEDAH menyentuh spiritualitas, hingga GASIK mendukung UMKM—semua ini adalah janji besar dalam kemasan singkat. Namun, rakyat tidak menilai dari seberapa banyak program diluncurkan, melainkan dari seberapa nyata hasil yang mereka rasakan. Apakah proses melahirkan kini lebih nyaman? Apakah pengurusan pajak lebih cepat? Apakah lapangan kerja terbuka tanpa pungli?
Program 100 hari bukanlah akhir, melainkan awal untuk membangun kepercayaan. Pemerintah Kabupaten Majalengka mesti membuktikan bahwa jargon program bukan sekadar retorika, tetapi sungguh menjadi jalan perubahan. Evaluasi terbuka, pelibatan masyarakat, dan indikator kinerja yang transparan menjadi kunci.
Seperti dikatakan Osborne dan Gaebler (1992), pemerintah yang berhasil adalah yang mau mendengar dan terus belajar dari rakyatnya. Kita berharap Eman-Dena tak hanya memberi semangat di awal, tapi juga membangun warisan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat-dalam tindakan, bukan hanya narasi.
***
*) Oleh : Adi Junadi, Akademisi dan Pemerhati Komunikasi Politik Kota Angin Majalengka.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |