TIMES JABAR, CIREBON – Pancasila bukan sekadar dasar negara yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945. Ia adalah pandangan hidup, falsafah bangsa, dan ruh kebudayaan Indonesia yang menyatukan keragaman menjadi satu kesatuan yang hidup.
Nilai-nilainya lahir dari bumi Nusantara sendiri bukan pinjaman ideologi luar negeri dan karena itu Pancasila adalah “DNA moral” bangsa yang seharusnya menuntun arah berpikir, bertindak, dan berkehidupan sosial politik kita.
Namun, dalam kenyataan hari ini, Pancasila kerap berhenti sebagai slogan yang dibacakan, bukan kesadaran yang dihayati. Ia menjadi simbol tanpa makna, rumusan yang indah tanpa daya hidup di ruang nyata.
Di sinilah pentingnya membangun kembali kesadaran kosmologi Pancasila sebuah kesadaran yang menempatkan manusia Indonesia dalam hubungan yang harmonis dengan ruang, waktu, dan seluruh semesta sosialnya.
Makrokosmos dan Mikrokosmos Pancasila
Dalam pandangan filsafat Jawa yang pernah diuraikan Franz Magnis Suseno, manusia hidup di antara dua jagad: makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik).
Makrokosmos adalah alam semesta ruang kehidupan bersama di mana segala unsur saling berkaitan. Sedangkan mikrokosmos adalah manusia itu sendiri, yang memantulkan nilai-nilai semesta di dalam dirinya.
Dengan kacamata ini, Pancasila adalah kosmos ideologis bangsa Indonesia. Alam semesta Indonesia, dengan segala keragaman suku, budaya, bahasa, dan keyakinan, merupakan makrokosmos Pancasila.
Sementara manusia Indonesia, sebagai pelaku nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, adalah mikrokosmosnya. Keduanya saling mengisi. Jika manusia Indonesia mengabaikan nilai Pancasila, maka rusaklah keseimbangan makrokosmos kebangsaan itu sendiri.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi jembatan yang menyatukan keduanya. Ia bukan hanya ungkapan puitis, tetapi prinsip eksistensial yang menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian dari keutuhan. Indonesia yang berdaulat dan berkepribadian adalah cerminan ruang kosmologis yang menyatu antara manusia, alam, dan nilai luhur Pancasila.
Dalam kajian kosmologi, ruang dan waktu tidak dapat dipisahkan. Keduanya membentuk kesatuan makna dalam kehidupan manusia. Demikian pula dalam konteks Pancasila, ruang (alam dan masyarakat) dan waktu (perjalanan sejarah bangsa) menjadi dua poros yang menentukan arah hidup berbangsa.
Sejak Pancasila lahir pada 1945 hingga kini, waktu telah berjalan membawa perubahan besar. Namun, apakah ruang sosial-politik kita masih diisi oleh nilai-nilai yang sama? Apakah semangat gotong royong, keadilan sosial, dan kemanusiaan masih hidup dalam kebijakan negara dan perilaku warganya?
Sayangnya, dalam banyak hal, hubungan ruang dan waktu Pancasila kini bersifat konseptual belaka. Seperti dikatakan Sir James Jeans dalam Physics and Philosophy (1948), ruang dan waktu bisa bersifat konseptual bila hanya hidup dalam gagasan tanpa tindakan.
Pancasila hari ini lebih sering menjadi konsep yang dipuja, bukan kesadaran yang diwujudkan. Kita menyebutnya dalam pidato, mencantumkannya dalam kurikulum, tetapi gagal menjadikannya orientasi moral dalam tindakan nyata.
Korupsi yang merajalela, konflik sosial, dan maraknya kekerasan di kalangan muda hanyalah cermin bahwa nilai Pancasila belum menembus kesadaran praktis manusia Indonesia. Nilainya berhenti di kepala, tidak sampai ke hati dan perilaku.
Pancasila sebagai Simbol yang Perlu Dimaknai Kembali
Filsuf Ernst Cassirer dalam Essay on Man (1987) menyebut manusia sebagai animal symbolicum makhluk yang hidup dari simbol. Simbol bukan hanya lambang, tetapi jembatan makna antara gagasan dan kenyataan.
Dalam konteks ini, Pancasila adalah simbol besar bangsa Indonesia. Namun sayangnya, banyak di antara kita memaknainya hanya sebagai lambang negara, bukan pedoman moral dan tindakan sosial.
Analisis Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra menegaskan bahwa makna simbol terletak pada kesediaan manusia untuk memaknainya secara aktif. Artinya, Pancasila akan hidup bila manusia Indonesia mau menafsirkan dan mengekspresikannya dalam tindakan.
Ketika kita menjunjung tinggi kemanusiaan, menegakkan keadilan sosial, dan menghargai perbedaan, saat itulah simbol Pancasila menjadi hidup. Sebaliknya, jika kita membiarkan ketimpangan, diskriminasi, dan keserakahan, maka Pancasila tak ubahnya sekadar lambang di dinding kantor pemerintahan.
Membangun Kesadaran Baru
Tugas kita sekarang adalah membangun kesadaran kosmologis terhadap Pancasila kesadaran bahwa Pancasila bukan hanya ide politik, tetapi tatanan moral yang mengatur hubungan manusia, alam, dan waktu. Kesadaran ini menuntut refleksi dan praksis: berpikir sesuai nilai Pancasila, bertindak dengan semangat kemanusiaan, dan hidup dalam keseimbangan sosial.
Kita memerlukan generasi yang tidak sekadar hafal lima sila, tetapi mampu menjadikannya pedoman etika dalam profesi, politik, dan kehidupan sehari-hari. Pancasila tidak akan berarti jika ia hanya diajarkan, tapi tidak dihidupkan.
Ruang dan waktu Indonesia hari ini sedang diuji oleh arus globalisasi, polarisasi politik, dan krisis moral. Jika Pancasila gagal menjadi penuntun di tengah badai itu, maka kita akan kehilangan jangkar kebangsaan.
Karena itu, membangun kesadaran kosmologi Pancasila berarti mengembalikan manusia Indonesia ke orbit nilai-nilai dasarnya gotong royong, keadilan, kemanusiaan, dan ketuhanan agar ruang sosial dan waktu sejarah kita kembali berada dalam keseimbangan yang harmoni.
***
*) Oleh : Syahrul Kirom, M,Phil., Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |