TIMES JABAR, SUMATERA – Metabolit sekunder adalah senyawa alami yang diproduksi oleh tanaman yang memiliki beragam fungsi dalam interaksi ekologisnya. Memiliki aplikasi yang luas di berbagai industri, termasuk farmasi, kosmetik, dan pertanian.
Metabolit ini menunjukkan berbagai aktivitas biologis. Seperti antimikroba, antioksidan, dan antikanker, menjadikannya sangat berharga bagi kesehatan dan kesejahteraan umat manusia. Penggunaan tanaman obat dalam menyembuhkan penyakit disebabkan oleh keberadaan berbagai jenis senyawa metabolit sekunder.
Senyawa-senyawa berharga ini dibiosintesis di bawah kondisi lingkungan yang tidak bersahabat sebagai mekanisme toleransi tanaman untuk dapat beradaptasi. Biosintesis metabolit sekunder pada tanaman dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Termasuk sifat genetik, kondisi lingkungan, dan ketersediaan nutrisi.
Selama hidupnya, tanaman menghadapi berbagai macam cekaman dari lingkungan baik abiotik (antara lain salinitas, suhu ekstrem, kekeringan, logam berat, dan UV) dan atau biotik (antara lain serangga, nematoda, jamur, dan virus).
Menanggapi kondisi cekaman ini, reseptor yang ada di membran plasma tanaman memulai serangkaian reaksi yang mengarah pada biosintesis metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman secara luas dikategorikan ke dalam senyawa fenolik, terpenoid, serta senyawa yang mengandung unsur nitrogen dan sulfur yang menunjukkan peran yang beragam. Dapat mengusir herbivora, berperan dalam simbiosis yang memberi sinyal dan mengubah organisasi komunitas mikroba.
Pada dasarnya metabolit sekunder dibentuk melalui jalur sintetis yang termodifikasi dari metabolit primer dan menggunakan substrat yang berasal dari metabolit primer tersebut. Adapun metabolit primer adalah senyawa yang secara langsung terlibat dalam pertumbuhan suatu tanaman antara lain seperti karbohidrat, protein, dan lemak.
Maka dari itu, peningkatan metabolit sekunder sebagai upaya pertahanan diri tanaman akibat cekaman lingkungan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Akan tetapi, karena senyawa alami ini telah terbukti signifikan secara medis, permintaannya selalu meningkat.
Adapun permintaan yang selalu meningkat ini tidak diikuti oleh ketersediaan yang berlimpah pula, karena secara alami jumlahnya sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan banyak peneliti menggunakan teknik alternatif antara lain seperti rekayasa genetika dan mikropropagasi untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder ini.
Metode-metode ini melibatkan manipulasi berbagai faktor lingkungan dan fisiologis untuk menciptakan suatu kondisi yang merangsang biosintesis metabolit sekunder tertentu. Adapun hal ini kemudian memunculkan paradoks cekaman lingkungan pada tanaman. Yaitu fenomena ketika cekaman lingkungan yang tidak menguntungkan justru dapat menghasilkan peningkatan produksi atau aktivitas metabolit sekunder yang pada gilirannya memberikan manfaat bagi tanaman untuk bertahan hidup serta bagi manusia yang mengekstraknya.
Faktor lingkungan seperti suhu, intensitas dan kualitas cahaya, kelembaban, dan air telah diidentifikasi sebagai faktor penentu penting dalam produksi metabolit sekunder (Niazian & Sabbatini, 2021). Sebagai contoh, sebuah penelitian menemukan bahwa kondisi hari yang pendek berdampak negatif pada pertumbuhan, inisiasi bunga, dan akumulasi alkaloid Papaver somniferum dibandingkan dengan kondisi hari yang panjang.
Meningkatkan intensitas cahaya di bawah fotoperiode yang panjang meningkatkan pertumbuhan, pengembangan, dan biosintesis alkaloid. Selain itu, upaya untuk meningkatkan produksi dari metabolit sekunder ini antara lain terdapat pada tanaman penghasil gaharu.
Gaharu adalah sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang secara alami terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang misalnya seperti Aquilaria sp. dan Gyrinops sp. yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh penyakit (bakteri, jamur, atau virus).
Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu. Menurut Satria et al. (2019), upaya peningkatan kualitas gubal gaharu dapat dilakukan melalui teknik inokulasi menggunakan cendawan Fusarium oxysporum. Selain itu, teknik manipulasi lingkungan yang dapat digunakan adalah menanam pohon penghasil gaharu pada lahan-lahan marginal antara lain lahan bekas tambang batu bara yang diketahui memiliki banyak faktor pembatas baik dari aspek fisika, kimia, dan biologi.
Sukma (2018) berdasarkan hasil penelitiannya menambahkan bahwa gubal dari tanaman penghasil gaharu Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke terindikasi mengandung senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, tanin, dan terpenoid. Selain manipulasi lingkungan, penggunaan hormon tanaman, elisitor, dan agen pemicu stres telah muncul sebagai pendekatan yang efektif untuk merangsang produksi metabolit sekunder ini (Jeyasri et al., 2023).
Zat-zat eksogen ini dapat menginduksi respons cekaman pada tanaman, memicu aktivasi jalur biosintesis dan menyebabkan peningkatan sintesis senyawa berharga ini.
***
*) Penulis : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc. (Dosen dan Peneliti Bidang Nutrisi Tanaman dan Fisiologi di Program Studi Agroekoteknologi, Universitas Andalas).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |