https://jabar.times.co.id/
Kopi TIMES

Keberlanjutan Tradisi Pangan NTT dan Papua

Sabtu, 22 Juli 2023 - 21:21
Keberlanjutan Tradisi Pangan NTT dan Papua Haris Zaky Mubarak, MA, Analis dan Ketua Riset Jaringan Studi Indonesia.

TIMES JABAR, JAKARTA – Pertanian berkelanjutan telah menjadi tema penting pembangunan skala global dan nasional. Skala global, pertanian berkelanjutan menjadi sangat penting karena pertanian merupakan sumber utama makanan bagi kebanyakan orang di dunia, dan pertanian selama ini menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Jika tidak dikelola baik, hal ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengurangi produktivitas lahan di masa depan.  

Apalagi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh petani di Indonesia adalah curah hujan tidak menentu, yang semakin parah akibat krisis iklim. Hujan yang terlalu deras atau kurang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, dan menghambat pertumbuhan tanaman.

Di samping itu, krisis iklim juga memicu penyebaran hama dan penyakit tanaman, yang dapat menurunkan hasil panen dan kualitas tanaman. Selain itu, dampak krisis iklim mempengaruhi ketersediaan air dan tanah, yang menjadi faktor penting dalam pertanian. Masalah pemanasan global juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu di permukaan tanah dan mengeringkannya, sehingga mengurangi ketersediaan air dan nutrisi bagi tanaman. Selain itu, dampak krisis iklim juga mempengaruhi ketersediaan air dan tanah, yang menjadi faktor penting dalam keberlanjutan pertanian

Kontekstual Geografis

Ditengah kuatnya tekanan lingkungan terhadap keberlanjutan pangan, kita dapat  belajar dari tradisi sejarah pangan Nusa Tenggara Timur dan Papua pada masa lalu yang mampu adatif dengan tantangan kehidupan sehari-harinya dengan lebih mengandalkan kontekstual geografis sebagai wahana merawat eksistensi keberlanjutan pangan. Seperti yang tersaji dalam publikasi ilmiah yang Saya tulis dalam program Dana Indonesiana Tahun 2022/2023 yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) . 

Hasil temuan riset Saya dalam program Dana Indonesiana menunjukkan jika realitas pangan yang terjadi di Nusa Tenggara Timur dan Papua sama – sama memiliki kesadaran kolektif untuk menciptakan sumber lumbung pangan tradisional.

Keberadaan lumbung pangan di Nusa Tenggara Timur cendrung berada di kawasan pegunungan.Hal ini setidaknya mulai berkembang sejak 1800 an akhir sampai 1930-an.Lumbung pangan diciptakan masyarakat lokal dengan kerangka utama lumbung yang dibuat kayu dengan dinding terbuka yang terbuat dari anyaman bambo.

Atap lumbung terbuat dari daun kelapa kering. Secara spesifik keberadaan lumbung ini terdapat di kawasan pegunungan Massu Sumba Nusa Tenggara Timur.Kemudian juga di kawasan Flores Timur, Kampung Ngada, Kampung Todo di Manggarai dan Kampung Ngaja Mbulli Nusa Tenggara Timur.

Sementara di wilayah Papua dari studi beberapa data arsip sejarah yang dilacak dari kurun waktu sepanjang 1800 an sampai dengan 1930 ditemukan data data sejarah jika lumbung pangan yang ada di Papua sebagian besar cendrung mendekati kawasan laut yang dekat dengan tempat bersandarnya perahu – perahu kecil para nelayan laut. 

Dari riset Dana Indonesia, ditemukan fakta jika warisan kehidupan bertani yang telah dilakoni oleh masyarakat lokal dari waktu ke waktu telah memungkinkan banyak sosialisasi kolektif untuk menjaga ketahanan pangan secara bersama-sama. Dalam masa ini populasi berkembang, kelompok-kelompok lokal berkumpul dalam kawasan semacam dukuh. Letaknya di puncak bukit dan daerah yang subur serta dekat mata air. Inilah alasan utama mengapa banyak terjadi konsentrasi lumbung-lumbung pangan di kawasan pegunungan yang diciptakan secara masif oleh masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur. 

Perkembangan tanah Nusa Tenggara Timur yang subur, menjadikan lahan pertanian menjadi intensif berkembang terutama pada wilayah yang memiliki iklim yang cukup basah kawasan Flores Barat menjadi kawasan yang sangat produktif dalam menghasilkan hasil – hasil pangan. Menariknya, setiap terjadi beberapa kelangkaan pangan maka tanaman pertanian yang langka tersebut menjadi objek ritual budaya yang ditradisikan dalam sebuah acara. Fenomena semacam inilah yang membuat ketahanan pangan pada sebuah etnik di Nusa Tenggara Timur menjadi dapat terus bertahan.

Apa yang divisualisasikan oleh orang Meto jelas menjadi karakter ataupun ciri identitas kearifan lokal masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur yang rasionalisasinya mereka sangat mengupayakan terjadi hubungan yang harmoni yang selaras antara tradisi kebudayaan pangan dengan kepercayaan terhadap leluhur. 

Pada sisi yang lain, sistem perladangan berpindah merupakan cir khas di beberapa daerah di Timor. Pada masa ini banyak penduduk yang hidup dari kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan, penduduk ini pun mengambil posisi untuk bertempat tinggal di goa-goa. Keberadaan goa-goa ini faktanya masih dapat dijumpai sampai hari ini.

Pada wilayah Flores bagian barat banyak ditemukan gua – gua yang disebut liang seperti Hang Tuge, liang Panas, Liang Mamer. Di pulau Rote disebut ada lua Leval, lua Mbia Ike Dale di Boa; di Timor disebut nuat yang mana ada nuat Beleog di Kecamatan Kupang Barat, nuat Gong di Amarasi. Dalam goa-goa inilah banyak diketemukan peninggalan masa lalu leluhur masyarakat Nusa Tenggara Timur. 

Di Papua, orientasi tentang ketahanan pangan terbentuk disekitar pinggir aliran air laut karena daerah pegunungan, daerah dataran pantai di sebelah selatan dan daerah kaki gunung sebelah utara merupakan kawasan daerah subur. Bahkan daerah pantai selatan merupakan daerah aluvial yang subur dengan banyaknya anak sungai Digul, Cemara dan Oktawa yang mengalir dari daerah pegunungan tengah yang bermuara kedalam laut Arafura yang ada di kawasan selatan.

Dataran ini terbentang dari daerah Mimika Papua disebelah barat sampai ke wilayah Merauke yang terletak di daerah perbatasan Papua Nieuw di sebelah timur. Dataran pantai selatan juga merupakan daerah rawa-rawa yang subur. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak masyarakat lebih menjadikan wilayah dekat pantai karena lebih memudahkan akses banyak wilayah Papua. 

Wawasan Lokal

Jika melihat pada narasi yang berkembang di masa lalu. Masyarakat Nusa Tenggara Timur masa kolonial umumnya masih mengkonsumsi pangan lokal tanaman agraris seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan sebagai bahan pokok asupan makanan sehari-hari. Hal ini bertahan sampai akhir abad ke-19. Meskipun pada abad ke- 20, kehadiran beras sedikit banyak menggantikan makanan pokok masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur tapi hal ini tidak terlalu signifikan. Salah satu hal yang mendasari kurang dominannya beras adalah karena pangan jagung dan umbi - umbian telah dimamfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Ekosistem mutualisme dengan kebutuhan beternak inilah yang membuat banyak masyarakat adat lebih fokus pada pangan jagung. Meskipun pangan jagung tersebut disajikan dalam bentuk yang sederhana seperti halnya di bakar. 

Tak jauh berbeda dengan realitas yang terjadi di Papua, kebutuhan masyarakat Papua sebelum kedatangan Belanda faktanya masih bersifat subsisten. Pada era ini setiap keluarga membuat kebunnya sendiri, menangkap ikan untuk kebutuhannya sendiri dan membangun rumah untuk tempat tinggalnya. Berburu merupakan mata pencaharian yang penting bagi masyarakat Papua baik mereka yang tinggal di pinggir pantai maupun yang ada di pedalaman. Dari rasional ini dapat disimpulkan jika sistem pangan kawasan Papua masih sangat bergantung dengan aspek geografis wilayahnya. 

Berlandaskan pengalaman pangan dua daerah timur di Indonesia tersebut, maka penting bagi kita untuk kembali melihat secara jernih tantangan pangan yang dibangun zaman. Meski begitu, masih ada tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi dalam menjamin stabilitas pangan, seperti perubahan iklim, perubahan kebiasaan konsumsi, dan fluktuasi harga agar para petani memiliki kemampuan adaptasi yang mumpuni terhadap perubahan iklim, dan memperkuat sistem-sistem ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Pada orientasi ini sangat urgen untuk dapat selaras dengan perkembangan ekosistem lingkungan geografisnya karena seberapa pun kuatnya tekanan ketahanan pangan sebuah masyarakat, modal utama untuk menjaga keberlangsungan pertanian secara terus menerus.

***

*) Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Analis dan Ketua Riset Jaringan Studi Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.