TIMES JABAR, JAKARTA – SAYA bukan alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat. Tidak pula memiliki hubungan profesional dengan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia itu. Bukan pula karena saya pernah terlibat diskusi dengan mantan rektor Unpad yang juga nyunda pisan Ganjar Kurnia.
Saya belakangan ini menjadi sangat perhatian dan gusar dengan Unpad karena universitas yang menjadi kebanggan warga Jawa Barat dan mungkin juga Indonesia itu tak ubahnya seperti bola pingpong yang dimainkan dua menteri di kabinet ini, Rudiantara dan Mohamad Nasir.
Keduanya bukan pemain pingpong atau tenis meja profesional melainkan sangat amatiran. Keduanya tidak hebat-hebat amat baik dalam bermain pingpong maupun bekerja di Kabinet Kerja.
Mungkin ada yang bertanya apa hubungan kedua menteri ini dalam permainan pingpong? Ya, pingpong yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tenis meja kebijakan.
Coba saja lihat keduanya sangat pintar berkelit ketika ditanya wartawan atau oleh mahasiswa mengenai pemilihan rektor Unpad yang terkatung-katung. Sempat diundur tiga kali dan kabar terakhir akan digelar Maret ini, itu pun tidak jelas waktunya.
Inilah bentuk ketidakprofesionalan kedua pemain pingpong tersebut. Rudiantara adalah Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Unpad yang dikenal sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika RI dan juga pernah mengaku sebagai pengurus masjid ini.
Arkian, Mohamad Nasir sebetulnya saya pastikan tak memiliki darah dan pertalian keluarga dengan Unpad tapi seperti sangat tahu tentang kampus yang berpusat di Jatinangor, Sumedang ini. Nasir merasa berkuasa atas Unpad hanya karena jabatan sebagai Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti).
Dengan jatah 7 suara atau setara 35 persen dalam pemilihan rektor, Nasir dan juga Rudiantara yang menjadi ketua MWA, bisa membuat sebuah kampus seolah tidak berdaya.
Awal Permasalahan
Pemilihan rektor Unpad awalnya lancar-lancar saja. Namun, kekisruhan dan kasak-kusuk mulai terjadi ketika rektor yang juga petahana yang masuk dalam delapan besar tidak lolos alias tereliminasi dalam tiga besar.
Pemilihan rektor pun akhirnya terkatung-katung hingga tiga kali diundur dengan berbagai alasan. Kedua menteri ini sangat berperan atas tarik ulurnya pemilihan rektor.
Berbagai manuver kemudian bermunculan. Sasarannya tentu calon rektor yang dianggap 'terlemah' dari tiga orang yang sudah terpilih.
Sasarannya mengarah kepada Prof. Dr. Obsatar Sinaga MSi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unpad. Obsatar dituding pernah terlibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan orang Sunda dan disebut-sebut bukan orang Islam padahal sebelumnya dikenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga dituding rangkap jabatan.
Soal terakhir ini yang membuat Obsatar Sinaga cukup kelimpungan. Kendati Obsatar sudah mengundurkan diri sebagai Komisioner Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Kendati sebenarnya, rangkap jabatan ini juga tak masalah.
Sebelumnya, Prof. Dr. Bagir Manan pun pernah merangkap sebagai Ketua Dewan Pers. Malah rektor Unpad yang juga petahana rangkap jabatan sebagai Ketua Percepatan Pembangunan Jawa Barat yang surat keputusannya diteken Ridwan Kamil.
Seperti halnya kasus KDRT dan juga isu rangkap jabatan sebagai komisioner KPI, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menolak keputusan rektor Unpad dan Menristekdikti yang memecat Obsatar Sinaga sebagai ASN. Apalagi Obsatar Sinaga juga termasuk ASN golongan IV-D yang berhak memecatnya hanya presiden.
Seperti disitat dari Pikiran Rakyat, KASN menilai surat keputusan Menristekdikti yang memberhentikan sementara Obsatar Sinaga sebagai ASN tidak tepat. Ketua KASN Sofian Effendi meminta Menristekdikti meninjau kembali keputusan tersebut.
Dalam surat KASN bernomor R/356/KASN/1/2019, pemberhentian Obsatar dinilai jauh terlambat dari waktu yang seharusnya. Keputusan Menristekdikti nomor 744/M/KPT.KP/2018 baru diterbitkan pada 28 November 2018. Sementara Obsatar Sinaga sudah mengundurkan diri dari anggota Komisioner KPI pada 29 Oktober 2018.
Menristekdikti Melawan
Keputusan Menristekdikti sudah dianulir KASN, tetapi kenapa Nasir tetap ngotot Obsatar Sinaga harus dipecat. Padahal kalau merunut pada alasan menjadi anggota KPI pun Obsatar Sinaga sudah mendapat izin Dekan FISIP Unpad.
Melihat sikap ngotot Nasir yang menginginkan Obsatar Sinaga tereliminasi dalam pemilihan rektor sehingga memungkinkan adanya kocok ulang lagi pemilihan rektor dari delapan besar, masyarakat pun curiga. Bukan hanya masyarakat kampus Unpad tetapi warga di luar seperti saya pun ikut-ikutan curiga.
Bahkan saat Obsatar Sinaga sulit 'digulingkan' dari sejumlah aturan muncul juga isu miring yang menimpa calon rektor lainnya yang berasal dari Fakultas Ilmu Hukum Unpad Prof. Dr. Atip Latipulhayat. Urang Tasikmalaya itu disebut-sebut sangat dekat anasir kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diberangus pemerintah.
Sebuah tudingan yang sangat tidak berdasar, konyol atau kalau meminjam istilah Rocky Gerung sebuah pendapat dari kelompok dungu. Hanya gara-gara Atip sebagai anasir Persatuan Islam (Persis). Sebuah organisasi Islam sangat besar setelah Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Barat. Persis sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh guru spritual Bung Karno, Ahmad Hassan. Persis, organisasi berbasis kader dan fokus dalam bidang dakwah serta pendidikan.
Rupanya isu ini pun tak mempan. Karena Persis pasti melawan. Peluru kembali diarahkan kepada Obsatar Sinaga. Menristekdikti tetap ingin menendang Obsatar Sinaga sejauh mungkin. MWA Unpad pun diminta Nasir untuk tetap mengganti Obasatar Sinaga dari pemilihan rektor periode 2019-2024.
KPK dan LSM
Anehnya, Ketua MWA Unpad Rudiantara seperti menikmati smash pingpong Nasir. Rudiantara pasrah dan tidak berdaya untuk melakukan smash balik.
Wajar bila di masyarakat muncul kecurigaan. Mereka menginginkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk terus memelototi pemilihan rektor Unpad.
Wajar mereka curiga karena Unpad bukan sekadar institusi pendidikan di dalamnya ada anggaran APBN yang sangat besar juga proyek-proyek besar terkait infrastruktur.
Apalagi indikasi ke arah penyalahgunaan anggaran di perguruan tinggi juga sempat dilansir anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Laode Ida.
Seperti ditulis Republika, Laode pernah menyatakan bahkan ada jual beli jabatan di perguruan tinggi. Misalnya untuk menjadi rektor seseorang harus menyetor sejumlah uang ke pejabat di Kemenristekdikti. Jabatan ini menjadi barang mahal lantaran dana APBN setiap tahun masuk untuk perguruan tinggi sedikitnya Rp 49 triliun.
Isu suap di perguruan tinggi termasuk di Unpad harus menjadi perhatian KPK. Dari terkatung-katungnya pemilihan rektor sudah mengindikasikan adanya anomali. Karena dalam pemilihan rektor sebelumnya tidak pernah terjadi di Unpad.
Apalagi bila sampai terjadi kocok ulang pemilihan rektor dari tiga besar dikembalikan menjadi delapan besar lagi, kecurigaan itu patut untuk ditelisik lebih jauh atau lebih kerennya diinvestigasi.
Ada apa dengan Unpad?
*Penulis adalah Yayat R Cipasang, Redaktur TIMES Indonesia
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ketika Takdir Unpad di Tangan Dua Menteri
Pewarta | : Yayat R Cipasang |
Editor | : Faizal R Arief |