https://jabar.times.co.id/
Kopi TIMES

Mengenal Sentralisme Demokrasi

Rabu, 30 November 2022 - 14:14
Mengenal Sentralisme Demokrasi Muhammad Sabana, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Nasional Jurusan Ilmu Adminstrasi Publik.

TIMES JABAR, JAKARTA – Sentralisme dan Demokrasi adalah dua hal yang sebenarnya mempunyai karakter dan prinsip-prinsip yang cenderung berbeda. Dalam praktiknya Demokrasi selalu dikaitkan dengan Desentralisasi, dimana peluang partisipasi masyarakat dibuka seluas-luasnya, sekaligus preferensi masyarakat yang lebih luas ke dalam proses perumusan kebijakan.  

Ada yang menarik dari pandangan Prud’homme dimana dia melalui tulisannya yang berjudul “The Dangers of Decentralization” menyatakan bahwa desentralisasi mengandung kekurangan yang dapat menyebabkan disparitas antar daerah, ketidakstabilan ekonomi dan inefisiensi. Lebih jauh Prud’homme melihat persoalan-persoalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya tanggungjawab pemerintah pusat dalam meredistribusi program-program atau memiliki kekuasaan pengawasan penuh dalam pajak dan pengeluaran daerah. Desentralisasi menurut Prud’homme juga menjadi akar dari pelayanan pemerintahan yang tidak responsif dan terbukanya peluang melakukan praktik korupsi oleh banyak pihak. 

Indonesia pasca reformasi berupaya menerapkan sistem desentralisasi dalam tata kelola pemerintahannya. Realitasnya, kondisi Indonesia sekarang apa yang disebutkan oleh Prud’homme menjadi fakta yang sulit dibantah. Disparitas antar daerah dan praktik korupsi menjadi persoalan Indonesia hari ini dan secara sadar disebabkan oleh desentralisasi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD dalam beberapa kesempatan menyebutkan bahwa Indonesia sekarang praktik korupsinya lebih gila dari zaman orde baru yang secara umum menerapkan sistem sentralistik. "Jaman sekarang ini lebih gila korupsinya daripada jaman orde baru, Bapak ingat tidak dulu, tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani. Dulu korupsinya itu korupsi terkoordinir,” tutur mantan Hakim Mahkamah Konstitusi ini.

Kembali kepada Sentralisme Demokrasi yang menjadi judul dalam tulisan ini. Pada tahun 1902 Vladimir Lenin membuat tulisan berjudul “Apa Yang Harus Dikerjakan?” tulisan itu menjadi pelopor tentang pemikiran Sentralisme Demokrasi. Pada waktu itu, Sentralisme Demokrasi menjadi pandangan umum serta prinsip-prinsip untuk pengorganisasian Partai Buruh Revolusioner.  

Dalam penerapannya sistem Sentralisme Demokratis, mempunyai paradigma untuk menghormati kelompok mayoritas dan melindungi kelompok minoritas, menentang “demokrasi raya” yang menyebabkan anarkisme, menentang keinginan dan kepentingan perorangan ditempatkan di atas kepentingan kolektif. Sistem sentralisme demokratis juga menetapkan hubungan yang tepat guna antara pemimpin dan rakyat, atasan dan bawahan serta organisasi dan perorangan.

Hal ini merupakan jaminan penting untuk memelihara persatuan dan penyatuan partai dan Negara yang diharapkan mendorong perkembangan usaha. Bisa disimpulkan Sentralisme Demokrasi bertujuan untuk menggabungkan dua bentuk kepemimpinan yaitu kepeimpinan politik dan demokrasi. Demokrasi yang menyediakan kebebasan berpendapat dan kontrol pusat (kepemimpinan politik) demi menjamin kesatuan dan disiplin warga negara.

Sistem Sentralisme Demokrasi sebagian besar memang dianut oleh Negara-Negara berhaluan kiri atau sosialis seperti Rusia, Republik Rakyat Tiongkok hingga Vietnam. Negara penganut paham Sentralisme Demokratis menjamin bahwa sistemnya demokratis dan terpusat melalui kepemimpinan kolektif. Secara praktiknya Sentralisme Demokrasi jika ada sebuah mosi (kebijakan baru, amandemen, tujuan, rencana, atau permasalahan partai lainnya). Kemudian melewati fase perdebatan, maka pemungutan suara diambil. Jika satu suara menang dengan jelas (misalnya mendapat 60% atau lebih suara jika terdapat dua opsi), maka semua peserta (partai) diharapkan untuk mengikuti keputusan itu, dan tidak melanjutkan propaganda atau aktivitas lain yang menentangnya. Hal ini bertujuan untuk bertindak dalam menjaga kesatuan. Jika peserta masih tidak setuju, mereka diharapkan untuk mengajukan mosi yang bertujuan membahas permasalahan itu lagi.

Ada yang menarik tentang Sentralisme Demokrasi dari tulisan Leon Trotsky yang berjudul Mengenai Sentralisme Demokratis (8 Desember 1937). Waktu itu Leon Trotsky mendapatkan pertanyaan yang berasal dari keluhan kelompok muda komunis Uni Soviet tentang kurangnya demokrasi dalam sistem pemerintahan dan partai komunis Uni Soviet.

Mereka menanyakan tentang formula sentralisme demokratis yang jelas dan terperinci. Menjawab hal tersebut Trotsky juga ragu dan menyatakan tidak yakin dapat menyediakan sebuah formula sentralisme demokratis yang dapat menghilangkan kesalahpahaman dan penafsiran yang keliru tentang Sentralisme Demokratis itu sendiri. Trotsky hanya menjelaskan bahwa partai adalah sebuah organisme yang aktif, kemudian partai berkembang dalam pergolakan dan dinamikanya baik dari luar maupun dari kontradiksi-kontradiksi internal. 

Selanjutnya Trotsky mempertegas bahwa rezim partai bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi terbentuk setahap demi setahap dalam perjuangan. Garis politik mendominasi rezim partai. Ini bukan berarti bahwa perkembangan partai tidak akan menghadirkan problem-problem organisasi. Tetapi ini berarti formula sentralisme demokratis niscaya mengekspresikan dirinya secara berbeda tergantung di negeri mana kita berada dan di tahapan perkembangan partai mana kita berada. Demokrasi dan Sentralisme sama sekali tidak menemukan diri mereka sendiri dalam sebuah rasio yang konstan. Semua tergantung pada situasi yang konkret, pada situasi politik negeri tertentu, pada kekuatan partai dan pengalamannya, pada kualitas anggota-anggotanya, pada sebuah otoritas yang sudah berhasil dimenangkan oleh kepemimpinan.

Antara Sentralisme Demokratis dan Pancasila Sila Keempat

Melihat sudut pandang Sentralisme Demokratis dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut dapat berjalan secara utuh jika partai politik pemenang dan pengendali rezim mempunyai kader-kader partai yang berkualitas. Dalam pengambilan keputusan pun Sentralisme Demokratis tidak menjadikan voting menjadi pilar pertama dalam pemngambilan keputusan. Mekanisme diskusi dan beradu argumentasi atau bermusyawarah menjadi hal utamanya.

Konsepsi tersebut sangat mirip dengan Pancasila sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dalam konteks sila keempat tersebut secara nyata dapat dijelaskan bahwa rakyat diwakilkan serta dipimpin oleh hikmat yang bijaksana dan bermusyawarah. Menjadi pertanyaannya adalah siapa atau ap aitu hikmat?. Kalimat “Hikmat Kebijaksanaan” dalam sila keempat, sebenarnya menunjukkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran untuk mencintai nilai keadilan dan kemanusiaan untuk kesejahteraan rakyat, sebagai nilai ideal yang harus diperjuangkan. Kemudian diperjuangkan melalui sistem permusyawaratan perwakilan.

Indonesia sebenarnya bisa saja mengadopsi konsep sistem Sentralisme Demokrasi jika ada suatu partai pemenang pemilu yang menguasai suara 50%+1. Namun dengan catatan partai tersebut haruslah partai kader yang mencetak kader-kadernya menjadi hikmat kebijaksanaan. Menjadi masalah tersendiri disaat iklim politik di Indonesia sekarang ini sudah menjadi transaksional yang berakibat cost politik semakin hari semakin mahal.

Partai politik yang harusnya menjadi kawah candradimuka pemimpin bangsa terjebak dalam lingkaran cost politik yang mahal dan membuat sistem perkaderan politik tidak lagi menjadi hal yang utama. Kelompok yang mempunyai uang besar dengan segala kepentingannya menjadi primadona dalam belantika perpolitikan di Indonesia. Menciptakan iklim partai politik layaknya perusahaan yang dimiliki para pemodal dan pemegang saham. Semakin sulit disaat kesenjangan sosial menciptakan apatisme tersendiri dikalangan rakyat yang membuat pendidikan politik untuk rakyat menjadi lemah dan akhirnya cenderung transaksional. Meski demikian harapan akan selalu muncul, walaupun tidak dalam waktu yang singkat.

***

*) Oleh: Muhammad Sabana, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Nasional Jurusan Ilmu Adminstrasi Publik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jabar just now

Welcome to TIMES Jabar

TIMES Jabar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.