TIMES JABAR, JAKARTA – Suhu bumi yang semakin meningkat yang disebabkan oleh perubahan iklim menimbulkan banyak kerugian bagi makhluk hidup. Dapat kita lihat dari penurunan kualitas air, kelangkaan hingga kepunahan flora dan fauna karena sulit beradaptasi, serta bencana terkait iklim dan cuaca.
Beragam kondisi itulah yang menjadi latar belakang pegiat lingkungan dalam bersikap. Mereka menyuarakan keresahan akan masa depan bumi dan seisinya melalui beragam kreativitas, seperti tulisan, diskusi dan lain sebagainya. Salah satu pegiat lingkungan yang populer saat ini yakni Greta Thunberg, seorang pegiat perubahan iklim yang masih berusia belia saat memulai panggilan karyanya.
Greta Thunberg lahir pada 3 Januari 2003 lalu. Remaja asal Swedia ini merupakan pegiat perubahan iklim. Pada tahun 2018, saat usianya masih 15 tahun, dia melakukan gerakan bolos sekolah setiap hari Jumat dan duduk di depan gedung parlemen sambil membawa poster bertuliskan “School Strike for Climate” atau “Bolos Sekolah untuk Iklim” untuk melakukan aksi demo menuntut pemerintah melakukan lebih banyak hal untuk mengatasi perubahan iklim.
Pada tahun 2019, dia pernah dinobatkan sebagai tokoh tahunan atau Person of the Year oleh majalah TIME. Pegiat perubahan iklim asal Swedia itu menjadi Person of the Year pertama yang lahir di abad ke-21 dan termuda yang pernah menerima penghargaan bergengsi tersebut. Greta Thunberg, remaja yang telah menjelma menjadi ikon untuk mengkampanyekan perubahan iklim yang menginspirasi dunia, khususnya bagi anak muda. Pada Maret 2019, Greta Thunberg memperoleh Right Livelihood Award 2019, yakni penghargaan yang setara dengan Nobel Perdamaian.
Dia mulai tertarik dengan isu lingkungan sejak usia belia. Greta mulai menyadari masalah perubahan iklim saat usianya delapan tahun. Greta menjadi seorang vegetarian dan menolak bepergian dengan pesawat. Bahkan ia sempat memakai kaos bergambar pesawat yang dicoret. Dia berjanji untuk tidak naik pesawat karena jejak emisi karbon yang ditimbulkan dan lebih memilih menggunakan kapal laut nol emisi karbon untuk menghadiri undangan-undangan konferensi.
Greta Thunberg didiagnosis menderita Sindrom Asperger, salah satu bentuk autisme. Orang dengan sindrom ini mempunyai kecenderungan sangat fokus pada satu ide atau minat. Dia menyampaikan bahwa menjadi berbeda merupakan anugerah. Membuatnya bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Dalam wawancaranya dengan majalah musik Rolling Stone, Greta menyebut Rosa Parks, seorang pegiat HAM asal Amerika Serikat, sebagai perempuan pertama yang menginspirasinya. Menariknya, Greta menaruh minatnya pada hal-hal mengenai lingkungan dan perubahan iklim. Greta mulai bekerja sebagai pegiat lingkungan sekaligus pencetus gerakan Fridays for Future sejak tahun 2018 lalu.
Selain aktivitasnya sebagai pegiat lingkungan, Greta Thunberg dipuji banyak orang karena meningkatkan kesadaran tentang Asperger dan menginspirasi mereka yang memiliki gangguan tersebut. Mengakui bahwa Asperger telah menghambatnya dalam beberapa hal, dia juga mencatat keuntungannya, pada satu titik dia mencuit di twitter “Saya memiliki Asperger, itu berarti saya kadang-kadang sedikit berbeda dari orang normal. Dan dengan keadaan yang tepat menjadi berbeda adalah kekuatan super. No One Is Too Small to Make a Difference (2019) merupakan kumpulan pidatonya. Setahun kemudian membuat sebuah dokumenter berjudul “I am Greta” telah dirilis pada tahun 2020, dan pada tahun 2022 lalu telah merilis buku berjudul “The Climate Book” yang telah banyak memancing antusias publik untuk menonton serta membacanya.
Dalam kurun waktu setahun, jutaan pelajar di berbagai negara di dunia terinspirasi oleh Greta dan meninggalkan kelas mereka untuk mengacungkan poster-poster yang sarat dengan pesan lingkungan. Sejumlah aksi Greta Thunberg yang pernah dilakukan di antaranya menuntut pemerintah Swedia untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement) dan lainnya.
Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip pidato Greta Thunberg yang sangat relevan. Dia mengatakan: “Ruang untuk masyarakat sipil akan sangat terbatas. Penting untuk memberikan ruang bagi mereka yang perlu berada di sana. Akan sulit bagi para aktivis untuk membuat suara mereka didengar”.
***
*) Oleh: Efrial Ruliandi Silalahi, Peneliti Gerakan Credit Union.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |