TIMES JABAR, MALANG – Sedikit mengangkat isu yang cukup strategis dilingkungan masyarakat saat ini. Politik pemerintahan menjadi isu vital diberbagai negara termasuk Indonesia. Desentralisasi menjadi alat utama dalam menjalankan roda kepemerintahan.
Pada hakikatnya Indonesia merupakan negara kepulauan. Jadi cukup efektif dan efisien ketika pemerintah akan hadir secara langsung di lingkungan masyarakat. Sebagaimana hakikat negara ini dilahirkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan.
Pendekatan strategis melalui desentralisasi di Indonesia sepertinya sering mendapat atensi publik. Desentralisasi bukan merupakan hal baru dalam sistem pemerintahan.
Ia hadir secara legal pada 1 Januari 2001, yaitu pada era Reformasi dengan legalitas UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD) (Calvin, 2023). Dua legalitas tersebut secara jelas menjadi komposisi utama dibentuknya desentralisasi di Indonesia.
Perkembangan Desentralisasi dalam beberapa tahun ini cukup mengalami gelombang yang serius. Patologi birokrasi yang secara nyata selalu hadir dan menemani perjalanan desentralisasi dari waktu ke waktu.
Kesetiaan patologi birokrasi yang berjalan relevan di setiap lini pemerintah daerah menjadi menarik ketika kondisi ini memang selayaknya tidak perlu menginang. Patologi birokrasi dalam skala birokrasi nasional maupun daerah selalu sama, yaitu terkait Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Jenis-jenis patologi birokrasi yang terfragmentasi dalam tiga bagian tersebut cukup menguras tenaga internal pemerintah maupun tenaga eksternal. Kehadiran yang tidak bisa dipungkiri memang menjadi salah satu konsekuensi lahirnya sistem pemerintah demokratis.
Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara diluar sana yang cenderung monarki tidak mengenal patologi birokrasi. Dalam perkembangan patologi birokrasi dilingkungan pemerintahan daerah. Kegiatan yang menjadi pusat dari penulisan ini adalah Nepotisme.
Jaringan Nepotisme selama ini biasa dianggap sepele oleh pemerintah Indonesia. Sebelumnya, Nepotisme merupakan fragmentasi dari makna Korupsi. Sebagaimana perlu kita ketahui, bahwa Korupsi berasal dari bahasa latin “corrotus” yang berarti melanggar atau menyimpang.
Secara etimologis, korupsi adalah bentuk perilaku yang menyimpang dari etika, moral, tradisi, hukum dan kebijakan sipil (Nurul, 2016). Maka besar kemungkinan makna Nepotisme sejalan pada hakikat korupsi. Karena dalam situasi nepotisme terdapat kegiatan penyimpangan dari aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Nepotisme secara umum dimaknai sebagai kegiatan memprioritaskan keluarga, sanak saudara, maupun kerabat dekat untuk berkontribusi dilingkungan pemerintahan, terutama dalam aspek jabatan dan pangkat tertentu (Hariyanto, 2012).
Jaringan Nepotisme sejatinya selalu ada dilingkungan pemerintah daerah. Ia telah menjadi ikatan kuat dilingkungan birokrat.
Makna nepotisme telah kita maknai sebagai perbuatan menyimpang dengan memprioritaskan keluarga untuk kepentingan tertentu.
Namun, poin of view lain yang menjadi dasar dari Nepotisme. Ketika ditarik pada kultur negara Indonesia, maka kita akan mengenal sistem kekeluargaan, kemanusiaan, silahturahmi dan terma-terma lainnya yang sejalan.
Dari kalimat tersebut sudah jelas bahwasanya sistem yang mendasari lahirnya Nepotisme dilingkungan Birokrasi adalah sistem kekeluargaan. Tidak mengkerdilkan makna lain dari sistem kekeluargaan. Tetapi secara sadar kita menganggap hal yang lumrah atau sepele.
Sebenarnya sistem kekeluargaan cukup baik bagi lingkungan masyarakat Indonesia yang notabenenya majemuk. Tetapi ketika sistem tersebut diadopsi pada lingkungan pemerintahan akan menjadi penyakit atau biasa disebut patologi birokrasi. Jenis penyakit birokrasi ini tercipta dari ikatan masyarakat yang cukup kuat dalam konteks kekeluargaan.
Saat ini nepotisme tidak hanya terikat pada jaringan kekeluargaan untuk masuk ke dalam ranah pemerintahan. Tetapi Nepotisme juga berkembang dengan mempertimbangkan orang-orang luar tanpa adanya darah dari keluarga yang memasukkan. Ini merupakan konsekuensi yang diterima dari pola silahturahmi yang cukup unik masyarakat Indonesia.
Kecenderungan warga yang majemuk, membawa individu untuk mampu bersikap sopan santun yang menyebabkan keakraban melalui silahturahmi menjadi kuat. Sehingga akar dari nepotisme melalui ikatan silahturahmi menjadi pertimbangan berat ketika akan dilakukan pemangkasan.
Nepotisme memang dianggap menyusahkan, meresahkan bahkan memalukan. Tetapi kondisi ini tidak membuat para sekte Nepotisme tidak berhenti untuk berbuat sesuka mereka.
Seperti kita ketahui bahwa nepotisme merupakan perbuatan sadar untuk memperburuk kualitas sistem pemerintahan. Kegiatan itu melemahkan sistem kompetisi berbasis kedekatan individualistik.
Kondisi ini menjadi kebijaksanaan paling rasional yang dipilih oleh pemimpin kekuasaan. Bagaimana tidak, ketika ada peluang untuk rekrutmen atau promosi jabatan akan lebih memuaskan jika diberikan pada lingkungan keluarga atau kerabat dekat.
Hal ini tidak lain untuk mempertahankan posisi strategis tertentu dalam lingkungan pemerintahan. Para elitis ini menganggap bahwa pola kekuasaan cenderung feodal, perlu ditransfer dan dihibahkan pada suatu golongan.
Sejatinya, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah dilarang secara legal oleh pemerintah melalui Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam substansi undang–undang tersebut terdapat pasal 5, yang menyatakan bahwa negara dituntut menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain itu, spesifikasi dalam pihak yang dilarang dalam melakukan Praktik KKN ini adalah penyelenggara negara, yang meliput; Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, Menteri, Gubernur, Hakim di semua tingkat peradilan, Pejabat yang memiliki fungsi strategis (Pimpinan Perguruan Tinggi, Eselon 1, Direksi, Komisaris dilingkungan BUMN).
Regulasi skala nasional sebetulnya telah mengatur tegas terkait penyelenggaraan negara yang semestinya melarang untuk mendirikan praktik KKN. Konsekuensi yang diterima dari praktik kolusi sebagaimana pasal 5 angka 4 dipidana dengan paling singkat dua tahun dan paling lama dua belas tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak Rp.1.000.000.000.
Konsekuensi tersebut secara jelas menjadi sanksi ketika praktik KKN dilakukan aparatur negara. Selain itu, konsekuensi dalam aspek operasionalisasi birokrasi, lebih menekankan pada tingkat kualitas dan kuantitas yang diberikan cenderung loyo.
Sesuai dengan tujuan daripada nepotisme dilahirkan, keluarga dan kerabat menjadi prioritas menjabat. Tentu lebih mengindikasikan bahwa kapabilitas, kapasitas dan integritas bukan sebagai acuan mutlak dalam berkontribusi di pemerintahan.
Kondisi dari lahirnya Nepotisme, memperparah hakikat dari Demokrasi sejati. Praktik kompetisi dan selektif merupakan landasan operasional utama dalam merekrut aparatur yang berkualitas. Menjadi kontras ketika acuan kompetitif dipangkas dan kualifikasi selektif menjadi prioritas.
Selektif dalam makna bahwa kedekatan sosial menjadi bekal untuk mem-branding secara legal. Maka mutlak ketika nepotisme membawa kehancuran semestinya dilingkungan birokrasi. Jika dari pada struktur berjalanannya birokrasi telah diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten.
***
*) Oleh: Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |