TIMES JABAR, CIANJUR – Fenomena pilkada dengan kandidat tunggal atau lawan kotak kosong di 43 daerah pada Pilkada 2024 menimbulkan banyak pertanyaan dan tantangan yang perlu direspon dengan bijak.
Pilkada yang diikuti oleh kotak kosong biasanya terjadi karena hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar dan memenuhi syarat, sehingga otomatis kotak kosong menjadi lawan dalam pemungutan suara.
Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi semakin sering terjadi dan memunculkan kekhawatiran mengenai kesehatan demokrasi di Indonesia.
Ketika pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon, partisipasi politik masyarakat bisa saja menurun karena merasa tidak ada pilihan lain, atau bisa jadi masyarakat merasa terpaksa memilih kotak kosong sebagai bentuk protes terhadap calon tunggal yang ada.
Untuk itu, penting sekali dalam memberikan beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan agar fenomena ini dapat dikelola dengan lebih baik dan tidak merusak esensi demokrasi yang seharusnya mengedepankan kompetisi yang sehat.
Pertama, Perlu adanya upaya serius dari partai politik untuk mendorong munculnya lebih banyak calon yang kompeten dan memiliki visi yang jelas dalam setiap pilkada. Partai politik seharusnya tidak hanya fokus pada satu calon yang dianggap paling kuat, tetapi juga memberikan kesempatan kepada kader lain untuk ikut berkompetisi.
Dengan demikian, masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan dan pilkada bisa menjadi ajang kompetisi ide dan program yang lebih sehat. Partai politik juga perlu lebih transparan dalam proses penjaringan calon, agar masyarakat bisa menilai apakah calon yang diusung benar-benar mewakili kepentingan mereka atau hanya merupakan hasil kompromi politik semata.
Kedua, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pilkada mesti lebih proaktif dalam mengawasi proses pemilihan, terutama di daerah-daerah yang hanya diikuti oleh calon tunggal.
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pengawasan adalah dengan melibatkan lebih banyak pengamat independen dan organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, KPU perlu memastikan bahwa seluruh proses pemilihan berlangsung adil, transparan, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemilih juga harus diberikan informasi yang cukup mengenai implikasi dari memilih kotak kosong, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang benar-benar berdasarkan pemahaman yang jelas, bukan karena ketidakpuasan atau informasi yang salah.
Ketiga, Pemerintah pusat dan daerah perlu memberikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang berpotensi hanya diikuti oleh calon tunggal dalam pilkada. Ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif bagi partai politik yang berhasil mendorong lebih dari satu calon, atau dengan memberikan dukungan kepada calon independen yang memenuhi syarat untuk maju.
Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi terhadap regulasi pilkada, apakah perlu ada perubahan atau penyesuaian yang bisa mencegah fenomena calon tunggal semakin meluas. Misalnya, dengan menetapkan batas minimal jumlah calon atau dengan memudahkan prosedur pencalonan bagi calon independen.
Keempat, Masyarakat perlu lebih aktif dalam proses demokrasi, termasuk dalam pilkada. Partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas memilih pada hari pemungutan suara, tetapi juga ikut serta dalam proses penjaringan calon, memberikan masukan kepada partai politik, dan mengawasi jalannya pilkada.
Masyarakat yang aktif akan membuat partai politik dan calon kepala daerah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena mereka tahu bahwa setiap langkah mereka akan diawasi dan dinilai oleh publik.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberi pendidikan politik yang memadai, agar mereka memahami pentingnya peran mereka dalam menjaga demokrasi tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Kelima, Media massa dan media sosial harus lebih berperan dalam memberikan informasi yang berimbang dan mendidik kepada masyarakat mengenai pilkada. Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik, dan oleh karena itu, media harus menyajikan informasi yang akurat dan tidak memihak.
Dalam konteks pilkada dengan calon tunggal, media perlu mengangkat isu-isu yang relevan, termasuk mengapa hanya ada satu calon yang maju, apa dampaknya bagi demokrasi, dan apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat.
Media juga harus menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kritik mereka, sehingga ruang publik tetap hidup dan dinamis.
Akhirnya, fenomena calon tunggal dalam pilkada merupakan tanda bahwa demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan yang serius. Namun, dengan kerjasama semua pihak, mulai dari partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, masyarakat, hingga media, tantangan ini bisa diatasi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang adil dan terbuka, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Dengan upaya yang serius dan terkoordinasi, diharapkan fenomena kotak kosong tidak lagi menjadi ancaman bagi demokrasi, melainkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem politik di Indonesia.
***
*) Oleh : Wandi Ruswannur, Pegiat Pemilu Asal Cianjur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pilkada 2024: Calon Tunggal atau Kotak Kosong
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |