TIMES JABAR, JAKARTA – Pemimpin cybersecurity internasional, Carmen Marsh, menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dalam membangun tata kelola kecerdasan artifisial (AI) yang inklusif dan etis.
Marsh yang dikenal sebagai CEO United Cybersecurity Alliance sekaligus pendiri program 100 Women in 100 Days Cybersecurity Accelerator menuturkan bahwa perempuan kerap menghadapi hambatan untuk bersuara dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
“Banyak perempuan sebenarnya punya ide, saran, hingga komentar teknis yang kuat. Tantangannya adalah keberanian untuk menyampaikan itu,” ucapnya dalam keterangan pers yang diterima TIMES Indonesia, Kamis (2/10/2025).
“Saya ingin menekankan kepada generasi pemimpin muda, terutama perempuan, bahwa mereka punya tempat di meja diskusi dan harus merasa berdaya,” sambungnya.
Sebagai anggota Global Council for Responsible AI, Marsh baru saja menghadiri pertemuan di Lecomo, Italia, yang menyepakati pentingnya transparansi, akuntabilitas, keandalan, dan etika dalam kerangka AI global. Menurutnya, framework AI tidak boleh kaku, melainkan harus “agile” agar bisa mengikuti inovasi tanpa menutup inklusivitas.
“Dalam pembangunan framework, kami melibatkan 60% representasi perempuan. Itu memastikan bahwa suara mereka menjadi bagian penting dari arah masa depan AI,” jelas Marsh.
Marsh juga menyoroti kesenjangan gender yang masih lebar di dunia keamanan siber. Melalui inisiatif 100 Women 100 Days, programnya telah melatih lebih dari 800 perempuan di seluruh dunia dengan dukungan filantropis Craig Newmark, pendiri Craigslist. Program ini memberikan workshop praktis, sertifikasi global seperti CompTIA, SANS, hingga Cisco Academy, serta akses karier melalui mentorship dan internship.
“Pendidikan cybersecurity sangat mahal. Program kami hadir tanpa biaya, karena yang paling penting adalah memberi pintu masuk bagi perempuan agar siap bekerja di industri,” katanya.
Relevansi bagi Indonesia
Pernyataan Marsh relevan dengan kondisi Indonesia, di mana literasi digital masih menghadapi tantangan.
Data Kementerian Kominfo (September 2025) menunjukkan bahwa dari total 400 ribu tenaga kerja digital yang dibutuhkan setiap tahun, hanya 30% di antaranya perempuan. Sementara, serangan siber di sektor keuangan dan kesehatan meningkat 29% pada paruh pertama 2025.
“Upaya meningkatkan jumlah perempuan di cybersecurity bukan hanya soal kesetaraan, tapi juga kebutuhan nasional. Talenta perempuan bisa memperkuat pertahanan digital Indonesia,” kata Marsh menegaskan.
Menurutnya, ancaman keamanan yang muncul dari AI mencakup manipulasi data, penyalahgunaan sistem otomatis, hingga serangan berbasis deepfake. Ia mendorong pemerintah, termasuk Indonesia, untuk membuat kebijakan yang praktis, adaptif, dan tidak menghambat inovasi.
“Framework AI tidak boleh terlalu rumit sehingga sulit diterapkan. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama, membuka ruang bagi pemimpin baru, termasuk perempuan, agar ekosistem yang inklusif benar-benar tercipta,” ujarnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Perempuan Didorong Terlibat Membangun Tata Kelola AI yang Inklusif dan Etis
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |