TIMES JABAR, MALANG – Pada tanggal 7 September 2004, Indonesia kehilangan seorang pejuang hak asasi manusia (HAM) yang gigih, Munir Said Thalib. Munir, pejuang HAM ini dibunuh dengan racun arsenik di dalam pesawat Garuda Indonesia yang terbang dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Saat itu, Munir bersama KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) gencar membongkar kasus penculikan dan pembunuhan para aktivis reformasi oleh pemerintah.
Setelah 20 tahun berlalu, keadilan untuk kasus ini masih menjadi pertanyaan besar meskipun pengadilan sudah memvonis beberapa orang yang terlibat. Otak intelektual kasus ini masih belum dihukum. TIMES Indonesia berkesempatan berbicara dengan Suciwati, istri almarhum Munir, pada 1 Agustus 2024 lalu untuk membahas perjalanannya mencari keadilan dan kenangan tentang Munir.
Bagaimana Anda mengingat Munir sebagai seorang suami dan ayah?
Munir adalah sosok yang sangat romantis dan penyayang. Meskipun awalnya memiliki sifat patriarki, Munir selalu terbuka untuk belajar dan berubah. Kami sering berdebat, namun dia selalu siap mendengarkan dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan saya. Misalnya, setiap minggu kami memiliki waktu khusus untuk berduaan atau saya meminta waktu untuk sendiri, dan dia selalu mengakomodasi permintaan tersebut. Kami saling memahami dan belajar satu sama lain, membuat hubungan kami semakin kuat.
Istri Munir, Suciwati saat aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. (FOTO: antara/Wahyu Putro)
Sebagai seorang ayah, ia dekat dengan anak-anaknya. Anak-anak selalu menyambut bapaknya dengan penuh kegembiraan setiap kali pulang. Aku melihat mereka langsung bersemangat begitu mendengar suara motor bapaknya tiba. Kedekatan mereka sangat luar biasa karena dia benar-benar terlibat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam membesarkan dan merawat anak-anak dan keluarga.
Apa yang menurut Anda menjadi motivasi Munir dalam perjuangannya untuk hak asasi manusia?
Munir selalu mengatakan bahwa membela orang yang tertindas adalah panggilan hidupnya. Ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius dan sejak kecil diajarkan untuk selalu berpihak pada keadilan. Dalam perjalanan hidupnya, dia semakin yakin bahwa penindasan harus ditolak di mana pun. Bahkan ketika ancaman semakin tinggi, dia tetap teguh pada pendiriannya. Dia pernah berkata bahwa menghentikan perjuangannya sama dengan bunuh diri, karena membela keadilan adalah nafas hidupnya.
Bagaimana reaksi Anda ketika pertama kali mendengar berita tentang kematian Munir?
Pertama, aku nggak percaya. Tidak percaya aku kan biasa hidup menerima fakta melihat dengan mata kepala itu udah biasa karena udah biasa investigasi. Biasa kerja, dan mencari tahu sumbernya dari mana dan sebagainya
Ya nggak percaya pastinya. Tapi waktu itu Usman (Usman Hamid), teman dekat Munir yang ngasih tahu. Usman telepon aku ke rumah (dan mengabarkan Munir meninggal dunia di pesawat Garuda, saat penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda).
Lalu apa yang Mbak Suciwati lakukan setelah mendengar Munir meninggal?
Saya mencoba mencari kepastian dengan menelepon Garuda di Jakarta dan Schiphol. Namun, sampai saya melihat sendiri, saya tidak bisa mempercayainya. Ketika akhirnya saya mendapatkan konfirmasi, rasanya seperti dunia runtuh. Saya tidak bisa mengungkapkan betapa beratnya saat itu.
Hampir 20 tahun sejak terbunuhnya Munir, bagaimana Anda melihat perkembangan dalam penanganan kasus ini?
Setelah 20 tahun berjalan, kasus ini menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Meskipun ada dukungan, sejauh ini kita hanya melihat orang-orang yang sebenarnya hanya pion (yang dihukum), sementara otak di balik kasus tersebut melarikan diri. Melarikan diri seperti Prabowo Subianto ke Yordania.
Pejuang HAM, Munir, yang dibunuh di pesawat Garuda saat penerbangan ke Belanda, 2004. (FOTO; Dok. kontras.org)
Jika kita melihat kondisi saat ini, kasus ini mencerminkan kondisi penegakan hukum di Indonesia yang semakin terpuruk, bukan hanya dalam pelaksanaannya, tetapi juga dalam moralitas yang seharusnya menjadi fondasinya.
Apa kendala terbesar yang Anda hadapi dalam mencari keadilan untuk Munir?
Alat-alat hukum yang seharusnya digunakan untuk pencegahan malah tidak dijalankan dengan semestinya. Akibatnya, jangan berharap penegakan hukum bisa menjadi contoh moralitas bangsa ketika moralitas itu sendiri sudah hancur di tangan para penguasa. Hukum hanya menjadi permainan kekuasaan, dan ketika seperti itu, hukum kehilangan kekuatan untuk menegakkan keadilan.
Munir Said Thalib, dengan sepeda motor kesayangannya. Sosok sederhana, cerdas dan pemberani dalam memperjuangan keadilan. (FOTO: wikipedia)
Penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah dan sering kali dipolitisasi. Moralitas dan integritas penegak hukum sering kali dipertanyakan. Banyak kasus yang tidak diselesaikan dengan adil karena adanya campur tangan kekuasaan.
Apakah Anda pernah merasa putus asa dalam perjuangan ini? Apa yang membuat Anda terus berjuang?
Ketika saya putus asa, saya akan diam. Tapi selama 20 tahun saya tidak pernah diam 1 detik pun. Dam selama 20 tahun terus mendorong penyelesaian kasus ini. Saya tidak pernah putus asa. Selama 20 tahun, saya terus berjuang dan mendorong agar kasus Munir mendapatkan keadilan yang seharusnya.
Catatan redaksi: Suciwati mendirikan Yayasan KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Suciwati berkomitmen untuk mengadvokasi keadilan dan hak asasi manusia. KASUM tidak hanya berjuang untuk keadilan bagi Munir, tetapi juga menjadi suara bagi mereka yang tertindas di seluruh negeri. Melalui berbagai kegiatan dan kampanye, Suciwati menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang demi hak-hak dasar manusia, menjadikannya sosok penting dalam lanskap HAM Indonesia.
Suciwati juga mendirikan museum Indonesia Omah Munir yang didirikan pada 2013, dan penggagas kampanye bertajuk "Menolak Lupa" yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar tidak melupakan apa yang telah dilakukan oleh Munir untuk Indonesia.
Menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk menuntaskan kasus ini?
Seharusnya, kasus ini sudah ditangani sejak lama tanpa perlu mengalami banyak hambatan. Menurut saya, Komnas HAM sebagai lembaga negara memiliki kekuatan untuk mendorong pengakuan atas pelanggaran HAM berat ini. Jika Komnas HAM sudah menyatakan bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat, maka legitimasi itu harus diakui dan ditindaklanjuti.
Kasus-kasus seperti ini tidak akan pernah benar-benar selesai atau ditutup. Mereka akan terus terbuka dan menjadi perhatian banyak orang, seperti halnya kasus tahun 1965 dan lainnya. Presiden Jokowi harus memahami bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini memerlukan pemikiran yang matang dan tidak bisa dilakukan dengan solusi instan atau pendek.
Apakah Anda merasa ada perubahan dalam kesadaran masyarakat tentang pentingnya hak asasi manusia sejak kematian Munir?
Perubahan kesadaran masyarakat terhadap kasus pelanggaran HAM setelah wafatnya almarhum masih menjadi tanda tanya. Jika saya jujur, mungkin ada sedikit peningkatan kesadaran, terutama karena perkembangan teknologi dan media sosial yang memungkinkan informasi tersebar dengan cepat. Namun, nilai-nilai mendalam belum sepenuhnya tumbuh.
Kita bisa melihat bagaimana banyak masyarakat masih apatis terhadap isu-isu ini. Apatisme ini terjadi secara sistematis, karena pihak penguasa dan pemerintah cenderung dengan terbuka mengobral kekuasaan tanpa memperhatikan keadilan atau moralitas yang seharusnya mereka junjung.
Bagaimana Anda ingin generasi muda mengingat Munir dan perjuangannya?
Kenanglah Munir sebagai seseorang yang jujur dan cerdas, dia selalu berpegang pada prinsip sederhana. Dia tidak pernah mencari jabatan atau keuntungan pribadi. Dulu, dia pernah diminta untuk terlibat lebih banyak di pemerintahan, tetapi dia tetap pada pendiriannya. Aku ingat ketika dia ditanya tentang ambisi kekuasaan, jawabannya selalu sama: "Jika semua orang ingin menjadi penguasa, lalu siapa yang akan membela korban?"
Pesan dari Mbak Suciwati bagi mereka yang masih berjuang untuk keadilan, termasuk dalam kasus Tregedi Kanjuruhan dan kasus-kasus lainnya?
Tetaplah bersemangat. Yakinlah bahwa nilai kebenaran harus terus diperjuangkan dan tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Saya berharap bahwa penegakan hukum di Indonesia akan semakin kuat dan tidak dipolitisasi. Saya berharap para penegak hukum memiliki moralitas dan integritas yang tinggi dalam menjalankan tugas mereka. Saya juga berharap bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya hak asasi manusia dan terus memperjuangkannya. Meskipun sulit, saya yakin bahwa perubahan bisa terjadi jika kita semua bekerja sama dan tidak pernah berhenti berjuang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menolak Lupa: Suciwati Bicara 20 Tahun Kasus Pembunuhan Pejuang HAM Munir
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |