TIMES JABAR, INDRAMAYU – Beberapa gadis dan lelaki dengan mengenakan pakaian adat, diarak dari balai desa. Mereka disambut oleh kegembiraan masyarakat, yang rumah ruah di jalanan desa. Pakaian yang dikenakan oleh beberapa gadis cukup ikonik.
Selain mengenakan pakaian tradisional berupa kebaya, di bagian kepala gadis-gadis terdapat beberapa bunga warna-warni yang dirangkai, seolah membentuk topi. Gadis-gadis tersebutlah, yang menjadi ikon dari tradisi tersebut.
Siang itu, di hari Rabu (22/12/2021) yang cerah, masyarakat Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat melaksanakan kegiatan adat yang sakral, yakni Ngarot. Tradisi tersebut merupakan adat yang hanya ada di Desa Lelea, yang telah dilaksanakan secara turun temurun sejak dahulu.
Meskipun saat ini masih dalam masa Pandemi Covid-19, namun tradisi Ngarot di Desa Lelea tetap berjalan. Walaupun di tahun ini terasa berbeda, namun tetap tidak menghilangkan kultur dan kesakralannya, yang sampai saat ini menjadi salah satu adat yang tetap dipertahankan.
Tradisi Ngarot biasanya dilaksanakan mendekati musim penghujan yaitu antara bulan Oktober sampai Desember. Secara etimologi, kata Ngarot berasal dari 'arot' yang berarti minum untuk melepaskan dahaga. Dalam arti lain, Ngarot adalah kegiatan pesta anak angon sebelum menggarap sawah.
Karena penuh dengan nilai tradisi dan budaya itulah, Adat Ngarot telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh UNESCO pada tahun 2015 lalu. Hal ini menjadikan Adat Ngarot sebagai kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Indramayu pada khususnya, masyarakat Indonesia pada umumnya.
Kepala Desa Lelea, Raidi menjelaskan, Adat Ngarot digagas pada tahun 1686 oleh Kepala Desa Lelea pertama yang bernama Canggara Wirena. Sang kepala desa berterimakasih kepada Tetua Desa Lelea yaitu Ki Buyut Kapol, yang telah menghibahkan sawah seluas 2,6 hektare untuk digarap oleh pemuda dan pemudi desa.
Pemuda dan pemudi tersebut diminta untuk belajar dan melakukan bercocok tanam padi agar nantinya masyarakat Desa Lelea tidak kekurangan bahan pangan.
Hasil panen dari garapan pemuda dan pemudi tersebut, lanjutnya, akan digunakan makan bersama dalam upacara Ngarot. Ki Buyut Kapol kemudian menyerahkan sawah tersebut kepada Ki Dawi, yang selanjutnya dijadikan lahan carik Kepala Desa untuk digarap sampai sekarang oleh para pemuda.
"Nama sawahnya Carik, Carik itu istilah nama lahan sawah yang digarap oleh kepala desa," terangnya, Kamis (23/12/2021).
Raidi berharap, budaya Ngarot dapat dilestarikan dan dijaga oleh masyarakat dan tetap terlaksana setiap tahun. Sehingga, siapapun nanti yang jadi kepala desanya, wajib melaksanakan Adat Ngarot, karena sudah ada lahan sawah yang dihibahkan untuk sarana dan untuk kepentingan desa.
Tak lupa, dirinya pun mengucapkan terimakasih dan berharap kepada pemerintah daerah, untuk memberikan perhatian dan dorongan agar tradisi Ngarot tetap terlaksana, melalui inovasi dan mengangkat kembali nama Desa Lelea dengan adanya Ngarot. Salah satunya dengan membuat ‘Film Ngarot’, yang diputar bertepatan dengan peringatan Hari Jadi ke 494 Kabupaten Indramayu lalu.
“Kami masyarakat Desa Lelea sangat berharap, agar tradisi Ngarotini bisa terus dilestarikan hingga anak cucu kelak," harapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mengenal Budaya Ngarot, Adat Tradisi Asal Indramayu yang Diakui oleh UNESCO
Pewarta | : Selamet Hidayat (MG-417) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |