TIMES JABAR, BANJAR – Soedrajat Argadireja, mantan anggota DPRD Kota Banjar periode tahun 2009 hingga tahun 2018 pertanyakan penanganan perkara tipikor tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Kota Banjar oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kota Banjar.
Pria yang berhenti menjabat di Bulan September 2018 karena di PAW oleh Partai Golkar yang sempat membesarkan namanya di panggung politik ini menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kejaksaan pada Senin pekan ini.
Menurutnya, perkara tunjangan perumahan ini berawal dari perwal 69 tahun 2022 yang menentukan besaran nilai tunjangan perumahan bagi ketua sebesar Rp32,5 juta, Wakil Ketua Rp24,1 juta serta anggota Rp15,9 juta.
"Tapi dalam penanganan tipikor ini, justru yang diambil dari periode tahun 2017 hingga 2021. Ini seperti ada upaya-upaya untuk melindungi pihak-pihak tertentu," keluhnya.
Kronologis perkara tunjangan perumahan, dijelaskan Ajat Doglo bermula dari awal mula terbentuknya perwal tentang tunjangan perumahan pada 25 April 2017 dimana dibentuk tim pengkajian tunjangan.
Adapun tim pengkajian tunjangan tersebut terdiri dari 6 Ketua Fraksi yaitu Fraksi Golkar, PDIP, Gerindra, PAN, Hanura Demokrat dan fraksi PKS DPRD Kota Banjar, Sekretaris DPRD, Inspektur pada Inspektorat Kota Banjar dan Tokoh Masyarakat, Dr. Herman Sutrisno.
"Pada 26 Mei 2017 disahkanlah Perwal no 5a dimana pada perwal tersebut tunjangan perumahan termasuk sarana dan prasarana lainnya seperti biaya listrik, telepon, biaya koneksi internet, biaya air minum dan biaya lainnya," urainya.
Pada perwal tersebut, nilai besaran tunjangan perumahan bagi pimpinan DPRD yaitu Rp7.200.000 dan wakil pimpinan Rp6.700.00 sementara anggota Rp6.200.000,-.
"Pada saat itu, selisih besaran tunjangan antara pimpinan dan anggota hanya Rp1 juta saja. Sementara di Perwal no 69 tahun 2022 selisihnya hampir setengah dari tunjangan pimpinan yang nilainya fantastik untuk ukuran DPRD Kota Banjar yang wilayahnya hanya 4 kecamatan," terangnya.
Kemudian pada 30 Mei 2017, terbitlah peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2017 yang justru bertentangan dengan Perwal yang telah disahkan dimana tunjangan perumahan tidak termasuk mebel, biaya listrik, telepon, internet, gas dan air minum.
"Kemudian ditindaklanjuti oleh dewan dengan menerbitkan Perda no 5 tahun 2017 tentang hak keuangan dan administrasi bagi pimpinan dan anggota DPRD pada 9 Agustus 2017 yang semestinya ditindaklanjuti lagi oleh eksekutif dengan pembuatan perwal baru," jelas Ajat.
Pada saat itulah, terjadi kekosongan perwal sebagai payung hukum mengenai besaran tunjangan perumahan dan transportasi DPRD hingga tanggal 26 Desember 2018 barulah perwal no 66 diterbitkan.
Pada Perwal no 66 tahun 2018, besaran nilai tunjangan perumahan untuk pimpinan naik sebesar Rp9.750.000, wakil pimpinan sebesar Rp8.400.000 dan anggota justru turun menjadi Rp5.300.000,-.
"Pada perwal ini, biaya sarana prasarana listrik dan yang lainnya tidak termasuk dalam tunjangan perumahan," kata Ajat.
Kekosongan perwal setelah pembuatan Perda no 5 tahun 2017 hingga penerbitan Perwal baru pada 26 Desember 2018 dianggap Ajat membuat para anggota dewan terjebak di aturan tersebut.
"Nah, periode antara Perda no 5 tahun 2017 dengan Perwal no 66 tahun 2018 ini selisih waktunya setahun lebih. Karena saya berhenti di bulan September 2018, maka kelebihan bayarnya juga disesuaikan dengan mengembalikan biaya listrik, telepon, internet dan air minum. Itu yang dijadikan dasar perhitungan pengembalian kerugian buat saya. Tapi nyatanya, penyidik justru mengenakan aturan perwal no 66 tahun 2018 dimana saat saya berhenti sebagai anggota dewan, perwal tersebut belum ada," ungkapnya.
Inilah alasan kenapa Ajat menolak menandatangani nominal pengembalian kerugian yang disodorkan oleh penyidik karena menurutnya baik aturan perwal yang diterapkan maupun perhitungannya tidak sesuai.
Ajat juga mengatakan bahwa sebetulnya persoalan ini bukan kesalahan DPRD karena pada tahun 2017 itu sudah menindaklanjuti dengan Perda no 5 tahun 2017.
"Tapi masalahnya, setelah terbit perda tersebut pihak eksekutif tidak menindaklanjutinya dengan perwal baru. Ketika tidak ada perwal yang baru, artinya masih mengacu pada perwal no 5a tahun 2017 padahal sudah bertentangan dengan PP no 18 tahun 2017. Jadi, semestinya pihak kejaksaan juga menyoroti itu," tegas Ajat Doglo.
Atas penanganan perkara ini, Ajat mempertanyakan kenapa perwal no 69 tahun 2022 yang nilai besaran tunjangannya fantastik tidak disentuh sama sekali.
"Mulai dari tahun 2020, besaran tunjangan perumahan DPRD terus mengalami kenaikan secara signifikan. Nah, masyarakat tentunya bertanya-tanya ini ada apa? Situasi seperti apa yang asa di Kota Banjar sehingga mengharuskan kenaikan tunjangan perumahan menjadi signifikan nominalnya," terangnya.
Ajat menyerahkan tabir misteri tersebut ke penyidik Kejaksaan Negeri Kota Banjar karena itu sudah menjadi tugas penegakan hukum.
"Jangan sampai terjadi kongkalikong , adanya unsur apa padahal jelas-jelas acuan nilai besaran tunjangan harus memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran serta memperhatikan pula harga nominal standar di daerah. Kemampuan keuangan daerahnya juga harus diperhatikan," tuturnya.
Selain itu, lanjut Ajat, sebagai pebanding, penyidik dapat melihat berapa besaran nilai di daerah lainnya seperti Kabupaten Pangandaran, Ciamis dan Tasik. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ajat Doglo Ungkap Kronologi Terbitnya Perwal Tunjangan Perumahan
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Deasy Mayasari |