TIMES JABAR, PANGANDARAN – Kisah inspiratif hadir dari seorang perempuan tua di Pangandaran. Namanya Enih (68), warga Desa Legokjawa, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran.
Enih, sudah puluhan tahun menekuni pekerjaannya sebagai petani daun pandan. Ia menggantungkan hidupnya sebagai petani pandan dari kebun milik desa. Ia memulai pekerjaannya dari tahun 2004, saat itu harga daun pandan sekitar Rp 500 per kilogram (kg).
Namun, seiring berjalannya waktu, harga daun pandan kini melonjak hingga Rp 4.000 per kg. Tapi bagi Enih harga segitu tak sebanding di zaman sekarang.
"Dulu harga cuma 500 per kilo, sekarang sudah 4 ribu," kata Enih, mengenang masa-masa awal ia memulai pekerjaan ini.
Setiap dua hari sekali, Enih berangkat pagi-pagi buta menuju kebun pandan untuk mengambil daun. Proses pengambilan daun ini dilakukan dengan cara memborong atau membeli langsung dari pemilik lahan, yang sebagian besar adalah tanah desa.
"Kami borong ke pemilik lahan. Tapi lahan itu milik desa," katanya.
Proses memborong berlangsung hingga semua daun habis, dengan harga borong yang bervariasi, tergantung banyaknya daun yang tersedia.
"Harga borongnya 100 ribu, kadang-kadang 25 ribu. Itu semua tergantung banyaknya daun," jelasnya.
Namun, Enih mengungkapkan, meskipun harga daun kering kini relatif murah, harga borongan tetap bergantung pada harga daun kering yang dijual di pasar.
"Kalau harga keringnya mahal, ya harga borongnya juga mahal. Tapi sekarang, harganya kan murah," tuturnya.
Setiap hari, Enih bisa mengumpulkan sekitar dua hingga tiga kilogram daun pandan dari kebunnya. Dalam satu kali kerja, ia hanya bisa mendapatkan daun pandan 2-3 kilo. Artinya Enih sehari berpenghasilan sebesar Rp 8 ribu sampai Rp 13 ribu.
"Hasil dari kebun kami bersihkan durinya, dan masih banyak proses lainnya," tambahnya.
Proses pembersihan duri dan penyiapan daun pandan untuk dijual ini memakan waktu hingga malam hari. Enih mengaku, ia biasanya mengumpulkan daun pandan dalam jumlah banyak terlebih dahulu, agar bisa dijual dalam satu minggu sekali.
"Kadang-kadang kalau butuh duit sedikit juga dijual," katanya.
Meskipun perjalanan hidupnya penuh perjuangan, Enih tetap semangat dan bangga bisa terus bekerja di kebun pandan yang telah menjadi mata pencaharian utama bagi dirinya dan keluarganya. Dengan tekad yang kuat, ia terus melanjutkan pekerjaannya meski usia tak lagi muda.
Meski usianya tak lagi muda, Enih tetap semangat dan bangga bisa terus bekerja di kebun pandan yang telah menjadi mata pencaharian utama bagi dirinya dan keluarganya.
"Kalo gak kerja seperti ini, mau kerja apalagi. Saya sudah tua, bersyukur masih bisa kerja seperti ini juga dan masih diberi kesehatan," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Acep Rifki Padilah |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |