TIMES JABAR, BANDUNG – Haul seorang tokoh ulama atau cendekiawan sering kali menjadi ruang spiritual sekaligus intelektual untuk menghidupkan kembali gagasan dan perjuangannya. Hal tersebut tercermin dalam perhelatan bertajuk Haul Intelektual dan Gerakan Gus Hasyim Wahid atau Gus Im, yang digelar pada Sabtu malam, 2 Agustus 2025, di Nation Cafe, Bandung.
Mengusung tema “Agama, Kapitalisme, dan Kekuasaan: Membaca Warisan Gus Im dari Balik Bayangan,” acara ini menjadi ruang refleksi kolektif atas pemikiran dan kontribusi Gus Im dalam ranah keagamaan, sosial, dan politik. Dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti Gus Aziz (putra Gus Im), Abdul Rozak (Bang Jack), Syaiful Huda, Arif Ruba’i, Abah Suhe, dan Gus Din, acara ini dipandu oleh Taufik Nurrohman dan menghadirkan M. Hasanuddin Wahid sebagai keynote speaker.
Gus Im dan Warisan Pemikiran di Balik Bayangan
Dalam paparannya, Hasanuddin Wahid mengangkat dimensi intelektual dan spiritual Gus Im yang dianggap unik dan mendalam. Ia menggambarkan sosok Gus Im sebagai seorang pembaca zaman yang tajam. “Beliau mampu menyetir semuanya—pikiran, jiwa, bahkan arah hati—karena memiliki kedalaman ilmu dan keluasan bacaan,” ungkapnya, Minggu (3/8/2025).
Menurut Hasanuddin, Gus Im tidak hanya memahami kitab kuning seperti kiai-kiai klasik, tetapi juga literatur dari spektrum paling kiri hingga paling modern.
“Ia membaca dan memahami logika kapitalisme, spiritualitas, bahkan sains dan metafisika dengan kekayaan perspektif yang jarang ditemukan,” katanya.
Salah satu pernyataan Gus Im yang dikenang adalah tanggapannya soal masa depan Indonesia: “Masyarakat tidak akan mengajukan revolusi kepada pemerintah jika masyarakatnya masih suka mendengar penyanyi Katon Bagaskara dengan ‘Negeri di Atas Awan’.” Sebuah sindiran tajam bahwa cita-cita tanpa gerakan nyata hanya akan menjadi bayangan semu. Dari balik "bayangan" inilah, menurut Hasanuddin, pemikiran Gus Im harus dibaca—melampaui teks, menembus ruang dan waktu.
Sementara itu, Abah Suhe, penggagas kegiatan ini, memulai refleksinya dari pengalaman spiritual di sel tahanan Banceuy, tempat Bung Karno pernah dipenjara. Ia menarik benang merah antara pengalaman Bung Karno menemukan jalan kemerdekaan dalam kesunyian penjara dengan laku intelektual Gus Im yang juga memilih jalan sunyi—dianggap tidak masuk kategori kiai konvensional, namun justru kaya refleksi dan gerakan.
“Gus Im menyendiri dari panggung kekuasaan, namun justru di situlah kekuatannya. Ia hadir bagi mereka yang terpanggil untuk berjuang, bukan yang mengejar panggung,” kata Abah Suhe.
Ia menyebut istilah “kerajaan Sima” yang sering ditulis Gus Im sebagai simbol dari kekuatan yang mampu menggerakkan, bukan melalui kekuasaan formal, tetapi melalui spiritualitas dan keikhlasan memberi. “Raja yang sejati adalah mereka yang menciptakan kenyamanan, yang memanggil jiwa-jiwa untuk kembali kepada kesejatian,” ujarnya.
Politik, Keberkahan, dan Spirit Ulama
Wakil Wali Kota Bandung periode 2024–2029, Erwin, turut memberi testimoni sebagai seorang politisi yang merasa mendapat keberkahan setelah bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). “Saya masuk partai yang dilahirkan oleh para ulama. Dan betul adanya, siapa yang berkhidmat kepada ulama akan mendapatkan barokah,” katanya.
Ia menceritakan bagaimana anak-anaknya menempuh pendidikan di pesantren, salah satunya kini menjadi anggota DPRD Kota Bandung. “Saya meyakini, perjuangan politik harus dibarengi khidmat dan keikhlasan. Itu yang saya pelajari dari para kiai, termasuk Gus Im,” tuturnya.
Erwin juga menegaskan komitmennya untuk memperkuat basis kultural PKB di Bandung. Ia menargetkan perolehan 14 kursi untuk PKB Kota Bandung sebagai bentuk ikhtiar politik yang berpijak pada nilai-nilai spiritual dan moral.
Sebuah Haul, Sebuah Gerakan
Haul Gus Im kali ini bukan sekadar peringatan wafat, melainkan gerakan intelektual dan kebudayaan untuk membumikan kembali gagasan-gagasan beliau yang seringkali tersembunyi “di balik bayangan.” Melalui diskusi lintas disiplin dan pengalaman hidup para tokoh yang hadir, warisan Gus Im dibaca bukan sebagai narasi masa lalu, melainkan sebagai peta jalan masa depan.
Dalam dunia yang semakin digerus kapitalisme dan kekuasaan hegemonik, Gus Im menghadirkan jalan alternatif: spiritualitas yang membebaskan, intelektualitas yang merdeka, serta keberpihakan kepada yang tertindas. Dan mungkin, dari situlah bangsa ini bisa menemukan kembali jalannya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Haul Intelektual Gus Im: Menelisik Warisan Pemikiran di Tengah Arus Kekuasaan dan Kapitalisme
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Deasy Mayasari |