TIMES JABAR, JAKARTA – Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mendukung langkah Law Enforcement Kementerian Agama RI (Kemenag RI) untuk menertibkan travel umrah nakal yang beroperasi tidak profesional.
Hal ini sebagai upaya melakukan perlindungan hukum kepada jemaah agar tidak terulang kembali kasus First Travel dan Abu Tour.
Belakangan, Kemenag melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) membekukan terhadap empat travel penyelenggara umrah yakni PT ABM, PT AM, PT MFM, dan PT AMJ selama 6 bulan sampai satu tahun.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) tertanggal 29 Mei 2023 yang resmi terdaftar sebagai Penyelenggaa Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
"Mereka telah terbukti tidak profesional lalai dan gagal memberangkatkan maupun memulangkan jemaah umrah. Hal mana kebijakan ini sudah sangat tepat. Terlebih pembekuan izin sudah melalui proses kajian, analisis, pemantauan, klarifikasi langsung kepada pihak travel yang bersangkutan harus didukung," papar Mustolih, Sabtu (12/8/2023).
Mustolih menjelaskan, pembekuan izin tersebut merupakan penghukuman yang dilihat dari segi hukum administrasi sebagai langkah yang paling rasional menjaga iklim penyelenggaraan dan bisnis umrah agar tetap kondusif sehingga tidak terganggu.
"Terutama PPIU yang dikelola secara profesional dan serius memberikan pelayanan sungguh-sungguh yang baru bangkit dihantam pandemi Covid-19," ujarnya.
Pihaknya berharap kepada Kemenag untuk terus memberikan ketegasan terhadap sederetan travel nakal tersebut. Mereka harus mengembalikan biaya dan memberikan kompensasi kepada jemaah yang menjadi korban.
Jika tidak, maka Kemenag bisa mencairkan bank garansi yang dibuat oleh travel manakala mereka melakukan proses pendaftaran yang menjadi syarat diterbitkannya izin PPIU untuk diberikan kepada jemaah," pinta Mustolih.
Sebagai konsekuensinya, para pimpinan dan pengurus travel nakal tersebut jika dalam masa pembekuan masih belum memiliki itikad baik, yakni menjalankan rekomendasi dari Kemenag, maka perlu dipertimbangkan untuk mencabut izin secara permanen lalu dimasukkan dalam ‘blacklist’ (catatan hitam).
"Sanksinya tidak diberikan izin mendirikan travel baru dalam kurun waktu tertentu agar menjadi efek jera dan pembelajaran bagi masyarakat luas. Terlebih saat ini penyelenggaraan umrah memasuki fase awal di tahun 1445 H," tegas Mustolih Siradj yang juga Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Sebagai informasi, jemaah umrah yang menjadi korban travel abal-abal alias tidak resmi diminta untuk tidak tinggal diam.
Menurut Kemenag RI, mereka berhak mengajukan gugatan ganti rugi dan kompensasi sebagaimana diatur UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) atau melakukan laporan ke kepolisian dengan delik pelanggaran UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan umrah. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |