TIMES JABAR, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), mendukung langkah-langkah yang diambil oleh Kepolisian, Kementerian Agama, MUI, termasuk Pemerintah Daerah Jawa Barat, kali ini dalam menangani kasus Panji Gumilang dengan serius, termasuk mengambil tindakan hukum yang tegas sesuai dengan prinsip Indonesia sebagai negara hukum, juga untuk mengoreksi kontroversi ajaran yang disampaikan oleh Panji Gumilang, pimpinan pesantren Al-Zaytun.
"Saya mengapresiasi langkah hukum yang dilakukan oleh Kepolisian. Karena Indonesia adalah negara hukum yang mengakui pentingnya keadilan hukum. Hal ini sangat perlu dilakukan dan dibuktikan oleh penegak hukum, termasuk dari Kepolisian," ucapnya, Selasa (4/7/2023).
Menurutnya, jika Panji Gumilang terbukti bersalah dan dikenai sanksi hukum, maka tugas Kementerian Agama bersama Pemerintah Daerah Jawa Barat, MUI, serta para ulama atau organisasi Islam adalah mempersiapkan langkah-langkah terkait nasib santri dan pesantren Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan Islam.
Sebagai informasi, isu yang melibatkan pesantren Al-Zaytun kembali mencuat. Saat ini, Panji Gumilang, pimpinan pesantren Al-Zaytun di Indramayu yang berdiri sejak 1999, menghadapi masalah hukum di Bareskrim, masalah administrasi di Kementerian Agama, serta sikap MUI Indramayu dan PWNU Jawa Barat yang melarang pengiriman santri ke pesantren Al-Zaytun.
Terbaru, tim investigasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bersama dengan Gubernur Jawa Barat dan MUI Jawa Barat, merekomendasikan pembubaran pesantren pimpinan Panji Gumilang.
Hidayat Nur Wahid, mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Pesantren, pembubaran atau pencabutan izin pesantren dapat dilakukan oleh Kementerian Agama, tetapi harus didasarkan pada fakta hukum.
"Indonesia adalah negara hukum. Undang-Undang Pesantren memberikan hak kepada Kementerian Agama untuk mengizinkan atau mencabut izin pendirian pesantren. Kementerian Agama sebelumnya telah mencabut izin pesantren di Bandung, yaitu pesantren Manarul Huda, dan pesantren di OKU Sumsel, yaitu pesantren Darul Ulum, karena adanya pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan pesantren, yang terbukti melanggar hukum," ujar Hidayat.
Anggota Komisi Agama (VIII) DPR tersebut mengingatkan bahwa kontroversi seputar pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun telah lama menimbulkan kekhawatiran dan menjadi perhatian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai masalah yang secara terbuka diungkapkan oleh Panji Gumilang sendiri, maupun kesimpulan yang ditarik oleh Ketua MUI Indramayu dan PWNU Jawa Barat, yang berujung pada larangan pengiriman santri ke pesantren tersebut.
Salah satu kontroversi adalah pernyataan Panji Gumilang yang menyebut bahwa Al-Quran bukanlah kalam Allah, melainkan kalam Nabi karena Allah tidak berbicara dalam bahasa Arab. Hal ini merupakan masalah mendasar karena iman kepada kitab-kitab Allah, termasuk Al-Quran, adalah bagian dari rukun iman.
Jika dinyatakan bahwa Al-Quran bukanlah kalam Allah, melainkan kalam Nabi yang juga merupakan makhluk, maka itu merupakan penurunan derajat Al-Quran dan menyamakannya dengan ciptaan makhluk lain. Selain itu, Panji Gumilang juga dikabarkan mengajarkan bahwa ibadah haji, salah satu rukun Islam, tidak harus dilakukan di Makkah, melainkan bisa dilakukan di Indonesia karena Indonesia juga merupakan tanah suci.
"Hal ini bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang berlaku di pesantren-pesantren di Indonesia. Sayangnya, santri-santri diajari ilmu dan aqidah yang menyimpang seperti ini," jelasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: HNW: Dugaan Penyimpangan Pesantren Al-Zaytun Jangan Dibiarkan
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |