TIMES JABAR, BANDUNG – Rumah bukan sekadar tempat berteduh. Dalam konteks perumahan nasional, perdebatan tentang luas minimum rumah subsidi tidak bisa dilepaskan dari pemahaman yang lebih mendalam tentang makna rumah itu sendiri.
Menurut UN-Habitat, rumah adalah hak dasar manusia—ruang teraman untuk hidup dalam damai dan martabat (dignity). Rumah adalah tempat keluarga tumbuh, tempat nilai-nilai ditanamkan, dan sekaligus unit terkecil dari peradaban. Karena itu, mengabaikan dimensi sosial dan psikologis rumah hanya demi efisiensi lahan atau target angka semata adalah pendekatan yang terlalu sempit.
Kajian ilmiah menunjukkan bahwa tinggal dalam ruang yang terlalu sempit, apalagi di lingkungan padat, bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental dan sosial.
“Penelitian klasik oleh John Calhoun tentang behavioral sink dan studi lanjutan oleh Regoeczi (2003) menunjukkan bahwa kepadatan tinggi bisa memicu agresi, baik verbal maupun fisik,” ujar Ar. C, IAI. AA, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia, Jumat (20/06/2025).
“Fenomena ini juga tercermin dalam studi masyarakat urban Inggris pasca pandemi, di mana ruang sempit selama lockdown meningkatkan stres, kelelahan mental, dan bahkan kekerasan domestik,” jelasnya.
Georgius menilai, hal ini semakin relevan ketika mengingat bahwa penyakit menular seperti TBC masih merenggut nyawa 14 orang per jam di Indonesia menurut data Kemenkes 2024—yang berarti kualitas hunian menjadi isu kesehatan publik juga.
Ia menerangkan bahwa dari sisi kebijakan dan regulasi, standar perumahan yang disubsidi negara tidak bisa ditentukan secara serampangan. Dalam Permen PUPR No. 689/KPTS/M/2023, ditetapkan bahwa luas bangunan rumah subsidi adalah 21–26 m² dengan luas tanah 60–200 m².
“Namun standar teknis lain, seperti dalam SNI 03-1733-2004 dan Permen sebelumnya, menyebutkan bahwa idealnya satu orang membutuhkan ruang hidup minimal 7,2–9 m². Artinya, rumah untuk keluarga empat orang seharusnya berada di kisaran 28–36 m². Apalagi jika kita merujuk pada interpretasi teknis dari target SDGs 11.1 dan dokumen UN-Habitat yang menyarankan luas minimal 30 m² untuk satu keluarga, dengan tambahan 10 m² untuk setiap anggota keluarga berikutnya,” ungkap Georgius.
Ketua Umum IAI ini menerangkan bahwa selain ukuran fisik, rumah juga harus memenuhi prinsip bangunan gedung yang layak huni menurut PP No. 16, yakni harus aman, sehat, nyaman, dan mudah diakses. Jadi, rumah subsidi bukan sekadar bangunan murah, tetapi bagian dari pemenuhan hak warga atas hunian yang layak.
Oleh karena itu, bagi Georgius, keputusan kebijakan yang hanya berfokus pada efisiensi lahan dan biaya tanpa mempertimbangkan kualitas hidup akan menimbulkan lebih banyak masalah jangka panjang, baik dari sisi sosial, kesehatan, maupun stabilitas masyarakat.
“Untuk itu, penyusunan kebijakan perumahan harus dilakukan secara partisipatif, komprehensif, dan responsif terhadap konteks geografis serta kebutuhan masyarakat. Pemerintah tidak cukup hanya sebagai regulator, tetapi harus berperan sebagai fasilitator dan inisiator dialog lintas sektor. Dunia usaha dan industri juga perlu dilibatkan, termasuk penyedia jasa konstruksi, material bangunan, serta pihak pembiayaan. Pengguna akhir—masyarakat—harus menjadi subjek dalam studi kebutuhan, bukan hanya objek dari kebijakan,” tukasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ini Ternyata Alasan IAI Ungkap 18 Meter Persegi Tak Manusiawi
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Deasy Mayasari |