TIMES JABAR, BANDUNG – Dalam sebuah diskusi yang mengundang tiga pakar terkemuka di bidang hukum,praktisi dan filsafat, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DPC Kota Bandung berhasil menarik perhatian dan menuai pujian dari berbagai kalangan.
Acara yang diselenggarakan di Hotel Savoy Homann Bandung ini mencerminkan komitmen Peradi Bandung dalam meningkatkan kapasitas profesional para advokat sekaligus memperkaya wawasan hukum di Indonesia.
Para narasumber, Prof. Dr.H. Dwidja Priyatno, SH.,MH, Komjen Polisi (Purn) Drs. H.Susno Duadji, SH., M.Sc, Rocky Gerung dan dimoderatori Dr. Ramsen Marpaung, SH., MH memberikan banyak pencerahan kepada anggota Peradi dan undangan yang hadir.
Mereka yang merupakan ahli di bidangnya, memberikan pandangan mendalam terkait isu-isu terkini yakni Gratifikasi dan Implikasinya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.
“Saya meminta kepada anggota Peradi atau peserta yang hadir untuk mengikuti seminar ini dengan serius. Sebagai advokat, ilmu yang didapat dari seminar ini akan menjadi bekal penting dalam menunjang profesi lawyer atau advokat,” terang Dr. (C) Mohamad Ali Nurdin, SH., MH.Ketua DPC Peradi Bandung, Jumat (20/12/2024).
“Melalui kegiatan ini, kami berharap dapat menciptakan diskusi yang konstruktif dan menghasilkan pemikiran-pemikiran solutif serta inovatif dalam menghadapi tantangan gratifikasi. Harapannya, hasil pembelajaran dari para pakar ini akan memberikan dampak positif bagi upaya menjaga integritas bangsa,” ujar Mohamad.
“Jadi, sebetulnya gratifikasi ini sangat sederhana bahwa jika manusia itu apabila berawal dari need (butuh) menjadi greed (tamak) maka akan menjadi susah untuk dilakukan pendekatan hukumnya. Kalau menurut saya, gratifikasi ini tidak bisa dikurangi karena salah satunya adalah sifat manusia yang terus menerus akan berjalan sepanjang masa, bahkan sekarang sudah semakin diperluas dengan gratifikasi ini. Maka, apakah masuk atau tidak gratifikasi apabila memberikan seperti berupa wanita….apakah bisa masuk atau tidak,?” ujar Prof. Dr.H. Dwidja Priyatno, S.H.,M.H.
“Karena, ke depan, modus pemberian tersebut akan bermacam-macam, bahkan sekarang apabila dilihat di berita-berita, orang akan menerima gratifikasinya tersebut di luar Indonesia seperti di Singapura atau di Swiss atau dimana lagi. Dan hal ini akan sulit untuk dideteksi. Bahkan, saya dapatkan informasi dari sosial media, ada gratifikasi yang diberikan di jalan tol yang akan menyebabkan sulit terdeteksi,” terangnya.
Dwidja menjelaskan bahwa berkaitan dengan gratifikasi ini, manusia akan semakin canggih dalam rangka melakukan gratifikasi atau melakukan pelanggaran di dalam suatu tindak pidana yang memang dilarang.
Ia menuturkan bahwa apabila pelanggaran terus berlangsung, dampak jangka panjangnya adalah orang tidak percaya pada system peradilan yang sedang berjalan itu. Selanjutnya, akan menghilangkan kepastian hukum, lemahnya penengakan hukum, ketidakadilan sistematis dan krisis kepada penegak hukum.
“Kalau itu sudah terjadi, maka akan terjadi ceos di dalam masyarakat itu, sehingga agar tidak terjadi solusinya, salah satunya adalah penguatan system, perbaikan kelembagaan, sehingga nantinya perbuatan melanggar bisa dicegah,” kata Dwidja.
Komjen Polisi (Purn) Drs. H.Susno Duadji, SH., M.Sc menambahkan bahwa syarat utama untuk memberantas korupsi itu adalah political will dari pemimpin negara dalam hal ini adalah Presiden dimana saat ini presiden terpilihnya adalah Prabowo Subianto.
“Harapan pemberantasan korupsi sekarang ini adalah harapan bagus melalui kepemimpinan Presiden Prabowo. Beliau dilihat dari sisi ekonomi, berkecukupan. Bahkan, belum lama Presiden memberikan himbauan untuk bertobat kepada para koruptor dan mengembalikan harta yang dicuri dari rakyat Indonesia ini,” ulas Susno.
Susno memberikan alasan mengapa pemberantasan korupsi bisa berhasil bila diawali dengan komitmen yang baik dari seorang presiden karena contohnya di negara Korea, bisa bagus karena komitmen pemberantasan korupsi oleh presidennya. Negara Cina pun demikian, apalagi korupsi itu yang berawal dari Cina, dimana budaya suap menyuap sudah jadi kebiasaan dan korupsi di sana pun bisa diberantas.
“Uraian dua teman saya, Pak Dwidja dan Pak Sus, dua-duanya menginginkan adanya pemulihan kembali moral public, diucapkan atau tidak. Dan kita menginginkan bahwa moral call itu kembali ke kita, bukan balik ke DPR yang juga jadi bagian percaloan hukum,” seru Rocky Gerung.
“Kita Kembali ke awal, apa sih makna gratifikasi itu? Gratifikasi itu adalah dimensi paling mulia dari manusia, moral callnya. Gratifikasi dimulai dari rahim perempuan, ketika si ibu membagi kecemasan dengan bayinya, itu adalah gratifikasi, Namanya adalah ethic of care, kepedulian dan itu adalah gratifikasi,” kata Rocky.
Rocky menerangkan bahwa dari sudut filsafat hukum, apabila memberi maka berarti maknanya adalah peduli. Dan yang dimaksud dengan manusia hukum, diatur setelah dia keluar dari rahim keadilan dan rahim seorang ibu itu adalah pelajaran di fakultas hukum pertama.
“Gratifikasi yang tadinya adalah ethics of care kenapa dia berubah menjadi ethics of crime? Mengapa sesuatu yang sebetulnya panduan moral terpaksa harus diatur melalui pidana? Kenapa hal ini terjadi? Karena kita masuk pada scarcity atau kelangkaan etik, kelangkaan ekonomi, dan itu semua yang disebut sebagai ekosistem yang membusukkan moral manusia,” pungkas Rocky menutup pembicaraan. (*)
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Imadudin Muhammad |