TIMES JABAR, JAKARTA – Selama lebih dari dua dekade, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) hanya menjadi bahan wacana yang tak kunjung disahkan.
Penundaan yang terlalu panjang ini bukan sekadar persoalan teknis legislasi, melainkan bentuk pembiaran politik terhadap ketidakadilan yang nyata. Negara seolah pasif menyetujui sistem yang memanfaatkan tenaga kerja perempuan secara murah dan tanpa martabat.
Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pekerja rumah tangga (PRT) terbesar di Asia Tenggara, namun ironisnya masih belum meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.
Selama lima tahun terakhir, ILO menempatkan PRT Indonesia sebagai pekerja prekariat kelompok paling rentan, tak stabil, dan tanpa perlindungan sosial yang memadai.
RUU PPRT seharusnya menjadi tonggak perubahan besar yang mengakhiri eksploitasi kerja domestik, namun justru menjadi cermin bagaimana negara lebih sibuk menjaga kenyamanan kelas berkuasa daripada memperjuangkan martabat kaum kecil.
Secara kultural, pekerjaan rumah tangga memasak, mencuci, mengasuh anak selalu dilekatkan sebagai “kodrat perempuan”. Aktivitas itu dianggap alami, bukan pekerjaan yang harus dihargai secara ekonomi.
RUU PPRT hadir sebagai terobosan penting untuk memutus warisan budaya patriarki itu, mengakui kerja domestik sebagai kerja produktif yang sah, yang layak digaji dan dilindungi oleh hukum.
Namun di lapangan, yang terjadi justru ironi. Banyak pekerja rumah tangga yang dibayar, tetapi diperlakukan seperti “anggota keluarga” yang bisa disuruh 24 jam tanpa batas.
Mereka terjebak dalam jebakan ganda antara pekerja profesional dan pelayan domestik yang tak punya hak istirahat. Hubungan kerja yang kabur antara “kontrak” dan “kebaikan hati majikan” membuat posisi PRT selalu lemah, tanpa daya tawar.
RUU PPRT diperlukan untuk menarik garis tegas: ini bukan sekadar hubungan personal, melainkan hubungan kerja profesional yang membutuhkan kontrak, standar, dan perlindungan hukum.
Harga Politik dari Rasa Enggan
Menggunakan Kerangka Moser, ada dua dimensi penting dalam perjuangan RUU PPRT: kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender.
Pertama, kebutuhan praktis mencakup hak-hak dasar seperti jam kerja maksimal, upah minimum layak, cuti, dan jaminan sosial. Semua itu dapat segera diatur secara administratif tanpa mengubah struktur besar kekuasaan.
Namun yang membuat banyak pihak resisten adalah kebutuhan strategis yakni pengakuan PRT sebagai pekerja resmi di mata hukum. Pengakuan ini akan memberi mereka hak untuk menuntut majikan secara hukum industrial, berorganisasi, dan bernegosiasi secara kolektif.
Di sinilah letak persoalannya. Begitu RUU PPRT disahkan, relasi kuasa di rumah tangga kelas menengah ke atas akan berubah. Rumah tangga tak lagi menjadi ruang “privat” yang bebas dari akuntabilitas hukum.
Majikan harus bertanggung jawab secara legal atas hubungan kerja mereka. Dan di sinilah muncul resistensi: ketakutan kehilangan privilese atas tenaga kerja murah dan fleksibel yang selama ini menopang kenyamanan hidup kelas mapan.
Dalam perspektif Teori Reproduksi Sosial, kerja domestik adalah fondasi tak terlihat dari ekonomi formal. Tanpa tenaga yang memasak, mencuci, dan mengasuh anak, para profesional kelas menengah tak akan bisa bekerja produktif di luar rumah.
Namun kerja reproduksi ini dibayar dengan harga yang tidak adil. Gaji PRT sering kali di bawah upah minimum regional, tanpa BPJS, tanpa kontrak, bahkan tanpa hari libur. Artinya, kesejahteraan kelas menengah sebagian besar disubsidi oleh penderitaan PRT.
RUU PPRT hadir untuk mengakhiri subsidi tersembunyi ini. Mengakui kerja domestik berarti mengakui nilai ekonomi dari reproduksi sosial. Tapi konsekuensinya jelas: biaya hidup kelas menengah akan naik, dan negara harus menanggung sebagian beban untuk menjamin kerja layak bagi semua.
Perlawanan terhadap RUU PPRT sejatinya bukan perlawanan terhadap regulasi, melainkan ketakutan membayar harga keadilan. Ini bukan lagi soal ekonomi, tapi soal moral: apakah bangsa ini bersedia membayar harga kemanusiaan yang adil?
Ujian Peradaban Indonesia
Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang terus terjadi dari upah tak dibayar hingga penyekapan adalah bukti betapa sistem hukum kita gagal melindungi yang paling lemah.
Status hukum PRT yang “abu-abu” membuat mereka berada di ruang hukum yang remang: bukan pekerja formal, tapi juga bukan anggota keluarga. Akibatnya, hukum industrial tak bisa menyentuh ranah domestik yang justru menjadi ruang subur pelanggaran.
RUU PPRT bukan sekadar produk hukum ketenagakerjaan, tetapi undang-undang peradaban. Ia menguji apakah bangsa ini masih memiliki nurani sosial di tengah modernitas yang rakus dan ketimpangan yang kian dalam.
Pengesahannya adalah bentuk keberanian untuk berkata: “Kita tidak lagi menutup mata terhadap mereka yang paling kita butuhkan, tetapi paling kita abaikan.”
RUU PPRT adalah ujian moral bagi negara yang mengaku menjunjung keadilan sosial. Jika gagal disahkan, itu bukan sekadar kegagalan legislasi, melainkan kegagalan kemanusiaan.
Sudah saatnya Indonesia berhenti menumpuk kenyamanan di atas punggung yang lelah. Menghormati pekerja rumah tangga bukan sekadar kewajiban hukum tetapi ukuran sejati dari seberapa beradab bangsa ini. (*)
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |